Selasa, 30 Juli 2013

Anak Kost (masih) Punya Cerita

Model kost yang petak demi petak itu sangat mendukung bakat “nguping” siapa saja, termasuk saya. Ya..,tulisan ini tentang hal-hal yang membekas di pikiran saya setelah bekerja dengan tanpa tenaga untuk menguping pembicaraan penghuni kamar di sebelah kamar kost saya. Kejadiannya bukan di sebelah kamar saya, tapi persis di depan kamar saya. 

Sabtu siang, libur, dan tidak ada undangan keluyuran, jadilah siang itu hari tidur sampai lapar. Tapi, sebelum tidur, saya cari ngantuk dengan membuat suasana kamar sehening mungkin. Tidak ada bunyi-bunyian. Tapi ini hanya berlaku di kamar saya saja, di kamar lain tidak. Terutama kamar di sebelah. 

Saya masih mencari yang namanya rasa kantuk, sampai akhirnya ada suara yang sepertinya berasal dari depan kamar saya. Penghuni sebelah lagi menelepon di depan kamar saya. Dari nada bicaranya yang dilembut-lembutin, saya bisa menyimpulkan, lawan bicara dari penelepon di depan kamar saya ini adalah cewek (tetangga saya cowok).
Tidak ada yang menarik dari pembicaraan itu, sampai akhirnya saya mendengar cowok di depan kamar saya ini mengatakan “lagi jongkok di depan kost”. 
Mungkin si cewek dalam telpon bertanya “ lagi ngapain?”

Tapi saya jadi heran, kenapa si cowok lebih memilih kata “jongkok” daripada “duduk”. Tapi iya sih, mau “jongkok” atau “duduk”. Dua-duanya mengarah ke jenis-jenis toilet. 

Giliran si cowok yang bertanya “Kita iya, bikin apaki?” 

Saya tidak tahu jawaban cewek dalam telepon. 

Saya hanya mendengar si cowok bersuara “Aih..,bakal ada yang tinggal tidurka nanti klo baring-baringki” (dengan nada gombal pastinya). 

Saya bisa menebak, kalau cewek dalam telepon sedang baring-baring. Cowoknya jongkok, lawan bicaranya sambil baring-baring!
Beberapa menit saya menelaah pembicaraan di atas, dan saya pun melewatkan beberapa bagian dari pembicaraan itu, yang pasti nggak penting buat saya. 

Akhirnya kuping saya menangkap suara si cowok lagi dengan nada bertanya “Panjang rambutta atau pendek?”

Saya tidak tahu jawaban orang yang ditanyai ini, saya hanya bisa menyimpulkan kalau ternyata dua orang yang terlibat pembicaraan ini belum pernah bertemu. Mungkin kenalnya karena salah sambung, atau karena tukar-tukaran nomor hp di chatbox facebook.
Saya masih senyum-senyum bingung dengan kesimpulan saya barusan, tapi lagi-lagi kuping saya kembali tertuju ke pembicaraan di luar kamar saya. Oo..mereka bahas lagi bahas kost-kostan. Saya tidak tahu alurnya sampai mereka bisa membahas soal itu. 

Sambil berusaha mengingat darimana pembicaraan tentang kost-kostan ini bermula, saya mendengar si cowok bertanya lagi “Di kost ta cewek semua, atau ada cowok?”

(Tentu saja) saya tidak tahu jawaban cewek dalam telepon, sampai saya mendengar si cowok bertanya lagi “Tapi klo cowok, bisa ji bertamu?”

(Lagi-lagi) saya tidak tahu jawaban dari pertanyaan ini, tapi saya sudah bisa tahu jawaban pertanyaan sebelumnya 'kost-an cewek dalam telepon adalah kost khusus cewek'. 
Jawaban pertanyaan pertama ada di pertanyaan kedua. Ternyata itu polanya, begitu pikir saya. 

Baru saja saya berkesimpulan, si cowok pun melontarkan pertanyaan ketiga(yang menurut saya) bakal jadi jawaban pertanyaan kedua “Kalo nginap?”

(Jawaban pertanyaan kedua) Ternyata cowok boleh bertamu ke kost cewek dalam telepon. 

Etapi, tunggu dulu…pertanyaan ketiga apa tadi? 'Kalo nginap?' Itu pertanyaan ketiga! 

Hahh…sadar dengan keberadaan pertanyaan ketiga, saya jadi tahu: saya baru saja mengikuti pembicaraan yang amat sangat (nggak) penting! 

Saya hanya bisa tersenyum, tanpa mengarahkan perhatian ke pembicaraan di luar kamar, sampai akhirnya suara itu tidak terdengar lagi. Mungkin pembicaraan sudah selesai, telepon ditutup. Mungkin juga karena si cowok tidak lagi di depan kamar saya, mungkin ia sudah jongkok di tempat lain.
Saya mendengarnya Sabtu siang  27 Juli 2013, tapi baru menulisnya 2 hari setelahnya | 29 Juli 2013_

Jumat, 19 Juli 2013

(sebutlah itu) "kerja"


“some people come so easy in our life to make something hard to forget”. Ini adalah komentar saya beberapa bulan lalu di status Fb atau (mungkin) note teman saya. Saya tidak ingat persis status/note-nya seperti apa sampai saya berkomentar seperti ini. Saya sendiri nyaris lupa klo saya pernah berkata seperti ini, mungkin karena waktu itu saya asal komen. Tapi kemarin teman saya mengingatkan saya akan kalimat ini “some people come so easy in our life to make something hard to forget”.
Iya sih, “melupakan” kadang jadi pekerjaan yang berat dan ada “orang dan hal tertentu” yang malah menambah berat pekerjaan yang satu ini. Tidak hanya lebih berat, kadang pekerjaan yang satu ini malah gagal total. Tahu kenapa jadinya lebih berat dan sering gagal ?? Karena kita “bekerja” tapi sambil menginginkan “orang/hal tertentu” ini kembali. Itu menurut saya.
“Melupakan” adalah pekerjaan yg berat, tapi menginginkan (saya rasa) adalah pekerjaan yg lebih berat lagi. Tidak mudah memang mengerjakannya sekaligus. Toh, selama pikiran masih waras dan daya ingat cukup baik, “melupakan” mungkin saja adalah hal yang tidak mungkin. Kita hanya bisa, mengurangi kemunculannya di ingatan , dan kemudian hanya “sedang tidak mengingatnya” bukan benar-benar lupa.
Selalu butuh waktu memang, dan terkadang waktu ini mengerjakan lebih banyak. Di awal “pekerjaan” akan ada perasaan dihantui, kemudian waktu akan menguranginya, lalu hanya sesekali menginginkannya, dan (semoga) pada akhirnya kita hanya mengingatnya tanpa menginginkannya. Iya, mengingat tidak selamanya berarti sambil menginginkan, kita hanya merayakan sesuatu yang memang sudah seharusnya pergi !!

(Buat teman saya: Stephanie Litha aka Vany) 19 Juli 2013

Rabu, 03 Juli 2013

Jadi orang gede (tidak)menyenangkan


“Jadi orang gede menyenangkan, tapi susah dijalanin” begitu kata iklan yg modelnya anak-anak kecil menggemaskan itu.  Menyenangkan, tapi susah dijalanin. “Menyenangkan, tapi susah dijalanin” bisa saja berarti (kadang-kadang tidak) menyenangkan. Setidaknya itu menurut saya.

Menyenangkan, tapi susah dijalanin. “Menyenangkan, tapi susah dijalanin” = “(kadang-kadang)tidak menyenangkan”. Jadi mikir : selama “gede” apa hidup saya menyenangkan ?? Dengan yakin saya menjawab “iya”. Kadang agak berat sih di tanggal tua, tapi bakal ringan lagi kok saat bulan yg baru lahir hahahaha. Ya.., sengsara tanggal tua tidak pernah jadi alasan untuk mengganti hidup yg saya anggap menyenangkan ini jadi sebaliknya. Selesai dengan tanggal tua.
Meskipun perkara tanggal tua selesai, saya masih saja penasaran dengan hal-hal yg bisa membuat hidup jadi tidak menyenangkan atau jadi terasa “susah dijalanin”(kata iklan). Hidup saya terutama. Dan waktu (tsaaah) pun membawaku ke hari dan tempat di mana orang nyetel musik kencang-kencang dan (sumpah) “SAYA TIDAK SUKA LAGUNYA !!” Hahh…baru ingat, saya memang selalu tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Kuping saya tidak pernah nyaman dengan music yg volumenya semena-mena. Pengen negur, minta volume dikurangi, malah jadi tidak enak sendiri. Takut yg nyetel tersinggung, dan memang saya tidak kenal orangnya hahahaha. Ah…,hidup orang gede memang terkadang jadi jadi ribet karena hal-hal kecil.
Volume musik yg semena-mena mungkin jadi hal sepele bagi orang-orang tertentu, tapi mungkin karena saya lebay, atau karena kurang kerjaan, perasaan tidak nyaman saya muncul karena hal sepele ini. Lebih tidak nyaman daripada sengsara tanggal tua. Tapi ceritanya lain lagi klo “volume semena-mena” ini bersamaan dengan tanggal tua. Lebih tidak nyaman.
Mungkin karena hal ini memang sepele, orang-orang yg memutar musik kekencangan tidak pernah sadar klo ada yg terganggu dengan tindakan semena-mena mereka terhadap kuping-kuping di sekitar mereka. Mereka tidak tahu klo volume musik yg besarnya minta ampun adalah salah satu bentuk penjajahan, penjajahan kuping. Dan bukannya penjajahan itu harus dihapuskan, kan ?? tapi boro-boro mau dihapus, untuk ngomong sama penjajahnya saja susah. Tapi iya sih, kadang untuk ngomong pun, orang “gede” juga bisa susah.
Atau jangan-jangan, penjajah tipe ini sebenarnya sadar klo mereka sedang menjajah kuping orang lain tapi mereka termasuk di jajaran orang yg tidak bisa menikmati lagu klo volumenya kecil. Belum lagi klo para penjajah ini berpikir bahwa selera musik orang itu sama, makin tanpa bebanlah mereka jadi penjajah. “Toh, kuping jajahan juga suka lagunya” begitu pikir para penjajah. Ah, betapa menyenangkannya jadi penjajah, tapi lebih menyenangkan lagi orang yg tidak harus terganggu dengan hal sepele seperti ini. Ya sudahlah…,saya harus berhenti mempermasalahkan hal yg sepele ini, sebelum saya kualat dan malah ikut menyanyikan “lagu kebangsaan” penjajah.

 |Berbahagialah untuk alasan kecil tanpa harus mengecilkan alasan kecil lain !!_02 Juli 2013_

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...