Kamis, 11 Februari 2016

Gigi

Selasa, 09 Februari 2016, mengikuti saran dokter saya pun harus merelakan gigi geraham kanan bawah saya dicabut. Gigi ini memang sudah bermasalah sejak lama. Saya hanya berusaha mempertahankannya sebisa mungkin, tapi sepertinya kali ini sudah tidak tertolong lagi.
Lupa persisnya kapan gigi ini bermasalah (baca:berlubang).  Entah sejak kuliah atau malah sewaktu saya masih SMA dan saya memutuskan  merawat gigi ini setelah masalahnya sudah jauh lebih besar. Itupun karena gigi sebelahnya lagi sudah rusak parah dan mesti dicabut. Iya, saya sudah ompong sebelumnya hahahaha.  Ah...jadi ingat bagaimana dulu menderitanya sakit karena gigi yang dicabut lebih dulu itu. Nah.., karena sakit luar biasa itu, saya sempat berpikir untuk sekalian menghabisi geraham kanan waktu itu juga bersamaan dengan geraham kiri. “meskipun belum pernah sakit, toh sudah berlubang juga” begitu pikir saya waktu itu. Tapi dokter gigi menasehati saya “kalau masih bisa dirawat, ya dirawat, tidak perlu buru-buru cabut gigi”. Saya pun menurut, geraham  kanan saya ditambal, dan bertahanlah gigi geraham kanan bawah saya ini kurang lebih 9 tahun.
Mempertahankan satu gigi geraham yang sebenarnya sudah rusak ini ternyata tidak gampang, mungkin samalah dengan mempertahankan hubungan, hubungan yang sudah tidak sehat sejak awalnya....preeett.
Tahun 2009 gigi saya itu ditambal lagi. Karena kurang perawatan dari tuannya, akhirnya tahun 2013 tambalannya jebol dan malah jadi masalah. Tapi, meskipun begitu dokter tidak lantas mencabut gigi saya. Masih bisa dirawat katanya. Ya sudah..,  gigi saya pun ditambal lagi untuk kesekian kalinya.  Tapi sebelum ditambal, saya mesti melalui proses yg istilahnya “perawatan saluran akar”. Saya tidak tahu persis ini apaan, saya dengarnya begitu. Dan jenis perawatan yang satu mengharuskan saya merelakan waktu tidur selama satu malam berkat ngilu yang kelewatan. Sebenarnya ngilu kelewatan ini bisa saja saya hindari, tapi karena manusia kadang suka menyakiti diri sendiri...yaa saya ogah dong minum obat pereda nyeri dari dokter.., dokter itu ...eh. Ngilu selesai, gigiku pun ditambal lagi-lah, dan bertahan (Cuma) setahun.
Tahun 2014, bermasalah lagi. Pindah dokter gigi. “kalau masih bisa dirawat, ya dirawat”. Dirawat lagi, tahun ini masih batal jadi ompong. Bertahan sampai akhir tahun 2015.
Akhir tahun 2015, masalahnya lain lagi. Bukan soal tambalan yang jebol, tapi karena gigi saya sudah rapuh (dari gigi turun ke hati, *kemudian nyanyi*  satuduatiga...rapuh semuanya) gigi saya pun patah. Patahannya kecil (sih.., tapi rela bagi-bagi?), tapi saya tahu kalau patahan sekecil ini pastilah masalah besar (lagi). Berhubung masalahnya muncul di akhir tahun, yang bersamaan dengan jadwal pulang kampung.., jadilah “masalah” ini saya pendam hingga tahun baru. Sekembalinya ke Makassar saya juga tidak langsung membereskan “masalah” ini. Masih perlu beberapa hari di Makassar, sampai akhirnya saya ke klinik. Jadilah  09 Februari kemarin saya ompong lagi.
Tahun 2013, “perawatan saluran akar” itu mengharuskan saya merasakan ngilu yang sebenarnya bisa saya hindari dengan cara minum obat. Sudah ada yang memperingatkan saya kalau tanpa obat saya akan ngilu sampai pagi. Tapi tanpa obatpun, ngilunya akan selesai waktu pagi. Jadi, saya memutuskan tidak perlu minum obat, toh besok pagi sakitnya bakal hilang juga. Tidak perlu usaha yang lebih untuk sesuatu yang hasilnya sudah pasti besok. Pikiran bodoh.     
Perihal saya mempertahankan gigi yang sebenarnya sudah tidak sehat, saya tidak pernah tahu kalau kelak saya akan kehilangan gigi saya itu hanya di tahun ke-9. Meskipun begitu, bahkan sekarang ketika memikirkan bahwa pada akhirnya gigi itu ternyata tidak bisa dipertahankan, saya tidak pernah berpikir bahwa seharusnya saya membiarkan gigi itu hilang sejak dulu saja. Mungkin juga, ini sama bodohnya.

Senin, 08 Februari 2016

Sakit (Tapi) Tidak Menular

Sudah setahun terakhir saya merasa sedang berada dalam masa miskin semiskin-miskinnya. Yaa.., meskipun tahun-tahun sebelumnya juga sama miskinnya, tapi saya merasa setahun terakhirlah yang paling terasa. Mungkin karena setahun terakhir inilah saya baru menyadari kalau saya benar-benar miskin, tahun-tahun sebelumnya saya hanya mengabaikan fakta kalau saya ini miskin. Semua yang terjadi juga makin menguatkan perasaan miskin itu. Liat  yang bagus-bagus dikit, pasti mentoknya selalu di harga...ciyaan. Pengen ini, pengen itu, tapi mesti tahan. Karena apa?? Yaaa...karena duit. Masalahnya selalu soal duit. Miskin sekali saya.
Tidak berhenti di masalah “pengen ini-itu”, bahkan Desember lalu ketika rencana pulang kampung mulai disusun, saya meringis dengan perihnya mendengar tiket bis yang naik harga.  Tapi tidak mungkin juga saya batal pulang kampung karena alasan berhemat. Akhirnya,, pulanglah saya dengan perasaan “diperas banget” karena mesti membayar 20-30ribu kenaikan harga tiket bis. Untuk kembali ke Makassar pun, saya juga masih merasakan perasaan yang sama. Tiket bis naik dengan kisaran harga segitu. Saya merasa diperas lagi.
Sekembalinya ke Makassar, tidak ada yang berubah. Yang terjadi hanyalah hal-hal yang menguatkan kemiskinan saya . Sepertinya, miskin itu berkelanjutan.
Lanjutnya ke hal yang lebih kecil. Sandal jepit.
(bukan) kebetulan, sandal jepit saya yang sebenarnya masih sangat layak pakai berubah menjadi sampah saat anjing teman saya menjadikan talinya sebagai cemilan tengah malam.  Ah...., saya yang miskin ini mesti ngeluarin duit buat beli sandal jepit lagi. Baru memikirkannya saja saya sudah merasa makin miskin. Miskin sejak dalam pikiran. Mungkin begitu.
Tibalah hari H.., hari beli sandal jepit maksudnya. Niat awal belinya sandal jepit yang serupa dengan bekas cemilan anjing itu. Tapi ketika sampai di outletnya, mata saya membelalak liat harganya. 99ribu rupiah. Padahal dulu, harganya nyaris setengah dari harga yang sekarang. Nyaris 2tahun lalu sih. Sebagai miskin teladan, saya tidak mau lagi-lagi merasa diperas karena harus membayar kenaikan harga. Dan memang sejak dulu, saya selalu saja heran dengan teman-teman saya yang mengeluarkan duit ratusan ribu untuk benda yang namanya sandal jepit. 99ribu belum ratusan sih, tapi buat saya yang kepalang miskin ini, 99ribu adalah harga yang mahal.  Sangat mahal. Saya kuburlah dalam-dalam niat memiliki sandal yang serupa. Pindahlah saya ke outlet sebelah. Di outlet sebelah,  meski elus dada, harganya masih lumayan bersahabatlah dengan si miskin ini. Duh..., beli sandal jepit mesti gini amat ya perasaannya. Ah..., jadi miskin memang berat.  Miskin memang menyakitkan.
Kalaupun miskin itu sejak dalam pikiran, berat, menyakitkan, dan berkelanjutan, semoga saja miskin itu tidak menular. Bisa habis teman saya karena takut ketularan miskin.

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...