Saya menghabiskan masa kecil di
tahun 90-an. Masa ketika stasiun tv masih sedikit. Masa ketika penanda
“kekayaan” seseorang di dalam kampung bisa dilihat dari antena tv-nya. Yang
termasuk golongan berada kebanyakan memiliki
antena parabola, tv-nya punya beberapa channel. Yang biasa-biasa saja, tentu
dengan antena tv biasa juga. Channel hanya ada dua, pagi sampai siang: TPI,
sore sampai malam:TVRI. Keluarga saya termasuk di golongan antena tv yang kedua,
yang tentu saja mengharuskan saya lebih banyak nonton TVRI daripada TPI karena
jatah siaran TPI bersamaan dengan jam sekolah.
Malam nonton TVRI? Maka nonton
siaran berita adalah keniscayaan. Dari siaran berita itu, saya mendengar
istilah penghargaan Adipura, yang katanya adalah penghargaan bagi kota yang berhasil
dalam kebersihan. Entah tahun berapa saya pertama kali mendengar “Adipura” ini,
tapi setelah lumayan sering mendengarnya
saya jadi penasaran “bagaimana bersihnya
kota yang mendapatkan Adipura ini?”. Dan entah berapa tahun pula saya jadi penasaran
begitu tiap kali berita Adipura muncul di siaran berita (TVRI tentunya). Mungkin
penasaran seperti ini bisa disamakan
dengan kurang kerjaan.
Beberapa tahun berlalu, mungkin
karena memang gaung Adipura menghilang ataukah karena pelajaran matematika yang terasa makin sulit dari hari
ke hari, sehingga saya tidak lagi punya waktu untuk penasaran dengan kebersihan
kota peraih Adipura. “Tidak penasaran lagi” ini akhirnya membuat saya jadi lupa
dengan segala hal yang berbau Adipura.
Ah.., matematika memang susah !
Setelah belasan tahun tidak
peduli dengan urusan Adipura, akhir tahun 2015 kemarin Adipura kembali menarik
perhatian saya berkat berita : Makassar dapat Adipura. Berbeda ketika saya
masih kecil dimana saya selalu penasaran dengan kebersihan kota peraih Adipura
jika mendengar berita tentang Adipura, kali ini saya malah bertanya “yang tidak
dapat bagaimana kotornya?”. Mungkin benar, proses penuaan mengubah cara
seseorang berpikir. Dulunya saya bertanya “bagaimana bersihnya?”, kali ini saya
bertanya “bagaiman kotornya?”. Tapi saya tidak perlu penasaran terlalu jauh
karena saya tahu bahwa Makale-Toraja (kampung saya) tidak dapat. Memikirkan Adipura
sekali lagi dihentikan.
Jl. Mesjid Raya - suatu sore di bulan Februari |
Dua bulan berlalu tanpa sekalipun
saya memikirkan Adipura, sampai suatu sore di bulan Februari kemarin ketika Makassar diguyur
hujan deras pikiran saya kembali teringat Adipura. Waktu itu, ketika menunggu hujan
reda saya melihat jalan raya di depan kantor saya sudah digenangi air, padahal
hujan belum sampai hitungan jam. Entah kenapa, hanya dengan melihat genangan
air di jalan raya saya jadi teringat
dengan Adipura. Dan entah kenapa pula, saya merasa kota peraih Adipura tidak seharusnya
tergenang air dengan mudahnya. Saya juga sebenarnya tidak tahu, apakah genangan
air seperti ini ada hubungannya dengan kebersihan, dan terlebih lagi berhubungan dengan
penghargaan seperti Adipura. Tapi pikiran bodoh saya waktu itu membuat saya
merasa bahwa genangan air di jalan raya bukanlah sesuatu yang terlihat bersih. Dan
bukannya Adipura adalah penghargaan untuk kebersihan, kan? Ah.., saya jadi bisa
menghubungkan hujan-kebersihan-Adipura. Mungkin karena berpikir dan
menghubung-hubungkan dengan seenaknya begini saya jadi lupa melimpahkan
kesalahan kepada hujan. “Wajarlah jalan
tergenang, kan hujan memang deras”. Harusnya saya berpikir seperti ini waktu
itu dan rasanya “hujan”pun tidak akan keberatan jika disalahkan.