Beberapa hari yang lalu, facebook
mempertemukan saya dengan teman itu
pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD kami tidak
pernah lagi bertemu, mendengar kabarnya pun jarang. Kami berdua tidak pernah
berkomunikasi lagi hingga akhirnya dia menemukan saya di facebook. Pertemuan
kami yang hanya lewat facebook ini membuat saya mencoba mengingat lagi
teman-teman yang pernah sebangku dengan saya saat sekolah.
Kelas satu - kelas tiga SD. Saya benar-benar tidak bisa mengingat
lagi teman yang menemani saya di masa ini. Tidak ada yang berkesan di ingatan
saya saat kelas satu SD. Yang saya ingat betul adalah saya terlambat masuk
sekolah. Jika sekolah dimulai bulan Juli, maka saya baru masuk saat bulan
Agustus.
Kelas dua sama saja. Tidak ada
ingatan saya soal teman duduk di masa ini. Kelas tiga pun begitu. Yang saya
ingat dari masa kelas tiga SD adalah wali kelas yang sama saat kelas satu dan pelajaran
matematika yg mulai susah. Tidak ada ingatan tentang teman sebangku.
Kelas empat - kelas lima SD. Dua tahun saya duduk dengan teman yang
sama, orang yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Kami duduk di bangku
kedua. Teman saya ini memiliki tulisan yang bagus, mungkin yang paling bagus di
antara sekelas murid. Wali kelas kami pernah memujinya demikian. Ia sebenarnya
bukan orang Toraja. Orang tuanya tinggal di Rappang, di Toraja ia hanya ikut
tantenya. Setelah lulus SD, ia memutuskan melanjutkan SMP di Rappang dan
tinggal bersama orang tuanya.
Kelas enam SD. Di tingkatan ini, kelas yang tadinya terbagi dua (A
dan B) akhirnya bergabung di ruangan yang sama. Tentu saja hal ini membuat
kelas lebih padat dan saya tidak leluasa memilih tempat duduk. Awalnya saya kebagian
tempat duduk di bagian belakang di deret kedua dari pintu. Saya lupa teman
sebangku saat itu. Hanya beberapa waktu saja saya duduk di tempat ini, mungkin
tidak genap dua bulan wali kelas memindahkan saya ke bangku depan di deret
bangku keempat dari pintu.
Di tempat yang baru, saya duduk
dengan murid yang paling pandai dari kelas B. Tulisannya juga bagus dan rapi.
Saat lulus SD, ia lanjut di SMP yang berbeda dengan pilihan saya.
Meski berbeda, sekolah kami masih
berada di kecamatan yang sama. Kami masih sesekali bertemu saat perayaan hari
besar nasional yang mengharuskan sekolah-sekolah mengikuti upacara di kantor
kecamatan.
Saat SMA ia juga lanjut ke kota
meski beda sekolah dengan saya. Sesekali kami seangkot atau menunggu angkot di
tempat yang sama saat pulang sekolah.
Saat kuliah rasanya saya tidak
pernah lagi bertemu dengannya. Meskipun begitu saya berteman di facebook
dengannya sejak lama jadi tidak benar-benar kehilangan kabar seperti teman
sebangku saya di dua kelas sebelumnya.
Kelas satu SMP. Awal pembagian kelas saya bergabung di kelas 1 A,
tapi rasanya tidak sampai sebulan saya lalu pindah ke kelas D. Sebagai murid
terakhir yang bergabung di kelas D, saya tidak punya pilihan soal tempat duduk.
Saya kebagian bangku kelima alias bangku paling belakang. Di bangku ini saya
duduk sendiri. Kadang salah satu teman yang duduk di bangku depan saya memilih
ke belakang menemani saya, tapi lebih sering saya duduk sendiri.
Kelas dua SMP. Saya duduk di bangku ketiga lalu pindah ke bangku
kedua. Teman sebangku saya saat di bangku ketiga adalah salah satu juara kelas
dan juga juara umum. Selain pandai, dia juga punya banyak fans. Sejak kelas
satu, saya tahu ada beberapa kakak kelas laki-laki yang suka kepadanya.
Kemudian entah di saat kapan saya
bertukar tempat dengan salah satu teman yang duduk di bangku depan saya. Maka
jadilah saya di tempat duduk yang baru, dengan teman yang baru, dengan
pengalaman baru pula. Kapur tulis guru pernah mendarat di meja kami karena
bahasan sabun cuci piring saat pelajaran PPKN sedang berlangsung.
Kelas tiga SMP. Teman sebangku
saya kali ini adalah kelanjutan dari kelas dua. Karena kami suka bangku kedua,
maka saat kelas tiga kami memilih bangku yang sama dan membiarkan bangku di
depan kami kosong.
Sayangnya, kami bertahan di
bangku kedua hanya beberapa hari. Seorang guru mengharuskan meja di
depan terisi yang berarti pula kami harus maju dan merelakan bangku kedua diisi
oleh teman-teman yang tadinya duduk di bangku ketiga.
Ternyata duduk di bangku paling
depan tidaklah menyeramkan. Kami tetap leluasa mengganggu teman-teman lain
meski kali ini tanpa kapur tulis yang mendarat di meja kami.
Bersama teman yang duduk di
bangku kedua, menggeledah laci meja cowok-cowok saat jam istirahat adalah
kebiasaan. Kebiasaan ini bertujuan untuk mencari surat cinta yang kemudian
sebisa mungkin kami hapal. Hapalan ini akan berguna jika cowok-cowok ini
merisak kami. Mereka tidak akan berani lanjut mengganggu kami saat hapalan dari
ayat-ayat cinta mereka kami kumandangkan.
Kelas satu - kelas dua SMA. Kebijakan baru tentang penentuan kelas
membuat saya dipertemukan dengan orang yang kelak dua tahun jadi teman sebangku
saya. Beberapa hari kami sempat di kelas yang berbeda.
Kami memutuskan sebangku karena
di kelas yang baru ini hanya dialah yang saya kenal baik. Kami berasal dari SMP
yang sama, juga sekelas saat SD. Selain itu kami berasal dari kampung yang sama
meskipun sebenarnya teman saya ini berdarah Bulukumba. Tugas orang tuanya sebagai abdi negaralah yang menjadikannya
ikut tumbuh dan mengenyam pendidikan di Toraja.
Meskipun kenal sejak lama, dua tahun
pertama di SMA-lah yang membuat kami lebih dekat. Ia pandai matematika, tidak suka
bahasa Inggris. Kami pernah punya ketakutan yang sama saat fisika kami mendapat
nilai merah, tapi akhirnya sama-sama bahagia karena bisa masuk kelas IPA saat
kelas tiga.
Soal nilai merah memang wajar
saja. Pasalnya, waktu yang seharusnya untuk belajar lebih banyak kami habiskan
untuk memikirkan hal-hal tidak berguna. Misalnya mengamati orang-orang yang
jajan di kantin. Hasil pengamatan kami pernah mendapati sepotong jalangkote
yang ukurannya kecil, dimakan oleh beberapa orang dengan cara menggigit secara
bergantian.
Selain itu, kami pernah membuat
kesepakatan bahwa saat kehujanan kami harus jujur tentang bagian wajah yang
paling dulu kena hujan. Kami sama-sama berharap hidung yang berarti kami
mancung, sayangnya kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Kalau bukan
jidat, ya…bibir.
Masih berkaitan dengan hujan.
Sekali waktu, hujan turun sesaat
setelah bel pulang berbunyi. Bertiga dengan salah satu teman saya yang lain
lagi, kami memutuskan pulang tanpa menunggu hujan reda. Saat berlari menuju
gerbang, terdengar teriakan dari cowok-cowok kelas tiga yang berteduh “yang lari
kambing, yang lari kambing.” Lalu dengan entengnya teman sebangku ini membalas “yang
tinggal kambing bodok.”
Kelas tiga SMA. Pembagian jurusan saat kelas tiga membuat saya
harus berpisah dengan teman sebangku saya di dua kelas sebelumnya. Berdua
dengan teman dekat saya yang lain, mereka masuk ke kelas IPA 2. Saya masuk ke
kelas IPA 3.
Di kelas ini saya duduk di bangku
kelima, bangku kedua jika diurut dari belakang.
Saya duduk dengan salah satu
teman dari kelas yang sama saat kelas dua. Orangnya cantik, juga baik hati. Kebaikan hatinya
inilah yang pernah saya manfaatkan.
Saya pernah menjual cintanya demi
kaset Padi.
Saya memaksanya jadian dengan
salah satu kerabat saya. Sejak awal, saya meminta album ketiga Padi sebagai
imbalan jika saya sukses sebagai mak comblang. Beruntungnya saya dikaruniai teman yang baik
hati dan kerabat yang memegang janji. Album ketiga Padi benar-benar jadi milik
saya.
Sayangnya hubungan yang berangkat
dari paksaan saya itu akhirnya kandas setelah beberapa saat. Kaset Padi saya
hilang, dipinjam orang sampai sekarang.
Meskipun ia batal jadi keluarga
saya, pertemanan kami tidak ikut selesai. Kami masih berteman sampai sekarang,
begitu juga dengan semua teman sebangku saya sejak SMP. Sesekali kami masih
bertemu, entah di Makassar atau saat kami sama-sama pulang kampung.