Jumat, 02 November 2018

Teman Sebangku


Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya  dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD kami tidak pernah lagi bertemu, mendengar kabarnya pun jarang. Kami berdua tidak pernah berkomunikasi lagi hingga akhirnya dia menemukan saya di facebook. Pertemuan kami yang hanya lewat facebook ini membuat saya mencoba mengingat lagi teman-teman yang pernah sebangku dengan saya saat sekolah.

Kelas satu - kelas tiga SD. Saya benar-benar tidak bisa mengingat lagi teman yang menemani saya di masa ini. Tidak ada yang berkesan di ingatan saya saat kelas satu SD. Yang saya ingat betul adalah saya terlambat masuk sekolah. Jika sekolah dimulai bulan Juli, maka saya baru masuk saat bulan Agustus.

Kelas dua sama saja. Tidak ada ingatan saya soal teman duduk di masa ini. Kelas tiga pun begitu. Yang saya ingat dari masa kelas tiga SD adalah wali kelas yang sama saat kelas satu dan pelajaran matematika yg mulai susah. Tidak ada ingatan tentang teman sebangku.

Kelas empat - kelas lima SD. Dua tahun saya duduk dengan teman yang sama, orang yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Kami duduk di bangku kedua. Teman saya ini memiliki tulisan yang bagus, mungkin yang paling bagus di antara sekelas murid. Wali kelas kami pernah memujinya demikian. Ia sebenarnya bukan orang Toraja. Orang tuanya tinggal di Rappang, di Toraja ia hanya ikut tantenya. Setelah lulus SD, ia memutuskan melanjutkan SMP di Rappang dan tinggal bersama orang tuanya.

Kelas enam SD. Di tingkatan ini, kelas yang tadinya terbagi dua (A dan B) akhirnya bergabung di ruangan yang sama. Tentu saja hal ini membuat kelas lebih padat dan saya tidak leluasa memilih tempat duduk. Awalnya saya kebagian tempat duduk di bagian belakang di deret kedua dari pintu. Saya lupa teman sebangku saat itu. Hanya beberapa waktu saja saya duduk di tempat ini, mungkin tidak genap dua bulan wali kelas memindahkan saya ke bangku depan di deret bangku keempat dari pintu. 

Di tempat yang baru, saya duduk dengan murid yang paling pandai dari kelas B. Tulisannya juga bagus dan rapi. Saat lulus SD, ia lanjut di SMP yang berbeda dengan pilihan saya. 

Meski berbeda, sekolah kami masih berada di kecamatan yang sama. Kami masih sesekali bertemu saat perayaan hari besar nasional yang mengharuskan sekolah-sekolah mengikuti upacara di kantor kecamatan.

Saat SMA ia juga lanjut ke kota meski beda sekolah dengan saya. Sesekali kami seangkot atau menunggu angkot di tempat yang sama saat pulang sekolah.

Saat kuliah rasanya saya tidak pernah lagi bertemu dengannya. Meskipun begitu saya berteman di facebook dengannya sejak lama jadi tidak benar-benar kehilangan kabar seperti teman sebangku saya di dua kelas sebelumnya.

Kelas satu SMP. Awal pembagian kelas saya bergabung di kelas 1 A, tapi rasanya tidak sampai sebulan saya lalu pindah ke kelas D. Sebagai murid terakhir yang bergabung di kelas D, saya tidak punya pilihan soal tempat duduk. Saya kebagian bangku kelima alias bangku paling belakang. Di bangku ini saya duduk sendiri. Kadang salah satu teman yang duduk di bangku depan saya memilih ke belakang menemani saya, tapi lebih sering saya duduk sendiri.

Kelas dua SMP. Saya duduk di bangku ketiga lalu pindah ke bangku kedua. Teman sebangku saya saat di bangku ketiga adalah salah satu juara kelas dan juga juara umum. Selain pandai, dia juga punya banyak fans. Sejak kelas satu, saya tahu ada beberapa kakak kelas laki-laki yang suka kepadanya. 

Kemudian entah di saat kapan saya bertukar tempat dengan salah satu teman yang duduk di bangku depan saya. Maka jadilah saya di tempat duduk yang baru, dengan teman yang baru, dengan pengalaman baru pula. Kapur tulis guru pernah mendarat di meja kami karena bahasan sabun cuci piring saat pelajaran PPKN sedang berlangsung.

Kelas tiga SMP.  Teman sebangku saya kali ini adalah kelanjutan dari kelas dua. Karena kami suka bangku kedua, maka saat kelas tiga kami memilih bangku yang sama dan membiarkan bangku di depan kami kosong.

Sayangnya, kami bertahan di bangku kedua hanya beberapa hari. Seorang guru mengharuskan meja di depan terisi yang berarti pula kami harus maju dan merelakan bangku kedua diisi oleh teman-teman yang tadinya duduk di bangku ketiga.

Ternyata duduk di bangku paling depan tidaklah menyeramkan. Kami tetap leluasa mengganggu teman-teman lain meski kali ini tanpa kapur tulis yang mendarat di meja kami.

Bersama teman yang duduk di bangku kedua, menggeledah laci meja cowok-cowok saat jam istirahat adalah kebiasaan. Kebiasaan ini bertujuan untuk mencari surat cinta yang kemudian sebisa mungkin kami hapal. Hapalan ini akan berguna jika cowok-cowok ini merisak kami. Mereka tidak akan berani lanjut mengganggu kami saat hapalan dari ayat-ayat cinta mereka kami kumandangkan.

Kelas satu - kelas dua SMA. Kebijakan baru tentang penentuan kelas membuat saya dipertemukan dengan orang yang kelak dua tahun jadi teman sebangku saya. Beberapa hari kami sempat di kelas yang berbeda.

Kami memutuskan sebangku karena di kelas yang baru ini hanya dialah yang saya kenal baik. Kami berasal dari SMP yang sama, juga sekelas saat SD. Selain itu kami berasal dari kampung yang sama meskipun sebenarnya teman saya ini berdarah Bulukumba. Tugas  orang tuanya sebagai abdi negaralah yang menjadikannya ikut tumbuh dan mengenyam pendidikan di Toraja. 

Meskipun kenal sejak lama, dua tahun pertama di SMA-lah yang membuat kami lebih dekat. Ia pandai matematika, tidak suka bahasa Inggris. Kami pernah punya ketakutan yang sama saat fisika kami mendapat nilai merah, tapi akhirnya sama-sama bahagia karena bisa masuk kelas IPA saat kelas tiga.

Soal nilai merah memang wajar saja. Pasalnya, waktu yang seharusnya untuk belajar lebih banyak kami habiskan untuk memikirkan hal-hal tidak berguna. Misalnya mengamati orang-orang yang jajan di kantin. Hasil pengamatan kami pernah mendapati sepotong jalangkote yang ukurannya kecil, dimakan oleh beberapa orang dengan cara menggigit secara bergantian.

Selain itu, kami pernah membuat kesepakatan bahwa saat kehujanan kami harus jujur tentang bagian wajah yang paling dulu kena hujan. Kami sama-sama berharap hidung yang berarti kami mancung, sayangnya kenyataan tidak selalu sejalan dengan harapan. Kalau bukan jidat, ya…bibir.
 
Masih berkaitan dengan hujan. 

Sekali waktu, hujan turun sesaat setelah bel pulang berbunyi. Bertiga dengan salah satu teman saya yang lain lagi, kami memutuskan pulang tanpa menunggu hujan reda. Saat berlari menuju gerbang, terdengar teriakan dari cowok-cowok kelas tiga yang berteduh “yang lari kambing, yang lari kambing.” Lalu dengan entengnya teman sebangku ini membalas “yang tinggal kambing bodok.” 

Kelas tiga SMA. Pembagian jurusan saat kelas tiga membuat saya harus berpisah dengan teman sebangku saya di dua kelas sebelumnya. Berdua dengan teman dekat saya yang lain, mereka masuk ke kelas IPA 2. Saya masuk ke kelas IPA 3. 

Di kelas ini saya duduk di bangku kelima, bangku kedua jika diurut dari belakang.  Saya  duduk dengan salah satu teman dari kelas yang sama saat kelas dua.  Orangnya cantik, juga baik hati. Kebaikan hatinya inilah yang pernah saya manfaatkan.

Saya pernah menjual cintanya demi kaset Padi.

Saya memaksanya jadian dengan salah satu kerabat saya. Sejak awal, saya meminta album ketiga Padi sebagai imbalan jika saya sukses sebagai mak comblang.  Beruntungnya saya dikaruniai teman yang baik hati dan kerabat yang memegang janji. Album ketiga Padi benar-benar jadi milik saya.

Sayangnya hubungan yang berangkat dari paksaan saya itu akhirnya kandas setelah beberapa saat. Kaset Padi saya hilang, dipinjam orang sampai sekarang.

Meskipun ia batal jadi keluarga saya, pertemanan kami tidak ikut selesai. Kami masih berteman sampai sekarang, begitu juga dengan semua teman sebangku saya sejak SMP. Sesekali kami masih bertemu, entah di Makassar atau saat kami sama-sama pulang kampung.

Sabtu, 27 Oktober 2018

Terima Kasih BOLA


Meski tak lagi menonton liga sepakbola dan (apalagi) membeli tabloid olahraga, kabar ditutupnya tabloid BOLA tetap saja membuat saya kaget. Kaget sekaligus membuat saya menarik ingatan ke pertengahan tahun 2002 silam. Waktu itu, untuk pertama kalinya saya membeli tabloid BOLA.

Tabloid BOLA pertama saya adalah edisi yang terbit setelah kekalahan Italia dari Korea di piala dunia waktu itu. Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik dengan berita sepakbola, tapi kekalahan Italia kali itu membuat saya jadi tertarik dengan drama yang menyertai olahraga ini. Ketertarikan yang tiba-tiba inilah yang membuat saya tidak merasa cukup dengan berita olahraga yang tersaji di tv. Saya lalu mencari sumber informasi dari media cetak, tabloid BOLA.

Meskipun alasan saya membeli tabloid BOLA waktu itu adalah ‘Italia’ sekarang saya sudah lupa bagaimana BOLA membahas kekalahan itu. Yang saya ingat adalah ketertarikan saya kepada Italia tidak berhenti setelah membaca tabloid BOLA yang pertama kali saya beli itu.

Usai Piala Dunia 2002, saya memutuskan untuk menonton liga sepakbola negara yang habis dipecundangi Korea itu. Agar lebih terikat, saya membuat keputusan lagi untuk jadi pendukung salah satu klub Serie A. Karena saya paling suka wajah Filippo Inzaghi, maka pilihan saya jatuh kepada AC Milan. Saya jadi milanisti bahkan sebelum tahu prestasi klub ini. Benar, kecintaan saya awalnya hanya karena wajah Filippo Inzaghi. Maka ketika ada yang menyindir saya “cewek-cewek nonton bola karena wajah tampan pemainnya” saya tidak membantah. Toh cinta memang kadang karena memandang rupa, bukan?

Serie A musim 2002-2003 bergulir. Saya mulai belajar nonton bola, juga belajar jadi milanisti.
Tiap akhir pekan saya terbiasa menahan kantuk untuk menonton AC Milan. Kalau pun laga AC Milan tidak ditayangkan, saya kadang menonton laga lain hanya untuk menunggu info skor dari laga-laga Serie A yang sedang berlangsung hari itu. Saya jadi benar-tertarik dengan AC Milan.

Ketertarikan itulah yang membuat saya mengirit jajan demi membeli tabloid BOLA. Dari dua edisi tiap minggunya, saya lebih sering membeli edisi Jumat karena edisi itu menyajikan prediksi pertandingan-pertandingan liga di akhir pekan. Sesekali saya membeli edisi Selasa, hanya jika AC Milan akan menghadapi laga besar di Liga Champion.

Saya membeli tabloid ini di lapak koran milik kakak teman kelas saya, dan kalau kehabisan saya akan mencarinya di toko dekat pertigaan tempat saya menunggu angkot tiap pulang sekolah. Tidak jarang juga saya tidak kebagian. 

Kegemaran saya membaca tabloid BOLA ini berlanjut ke musim berikutnya, hingga saya lulus SMA, meninggalkan Toraja, lalu tinggal di rumah kerabat untuk kuliah di Makassar.

Awal menetap di Makassar, saya masih sempat beberapa kali membaca tabloid ini . Dapat tabloid BOLA lebih mudah karena dekat rumah tempat saya tinggal ada penjual koran. Sayangnya meski untuk mendapat tabloid ini saya tidak perlu takut kehabisan, tinggal di bukan rumah sendiri membuat saya tidak punya kuasa penuh atas remot tv.
.
Jika saya adalah penonton AC Milan dalam keadaan apapun dan lawan siapapun, orang rumah tidak demikian. Saya betah saja nonton AC Milan dalam keadaan perkasa ataupun dalam keadaan membosankan. Tidak peduli Milan lawan Juventus atau Atalanta, saya senang-senang saja

Lebih sering saya memilih tidur saja karena laga AC Milan katanya tidak menarik jika dibandingkan dengan laga di liga negara lain yang berlangsung bersamaan. Lama-kelamaan saya tidak lagi punya niat nonton bola.

Jarang nonton ini jugalah yang membuat minat saya membaca tabloid BOLA jadi menurun, bahkan hilang. Mungkin saya membeli tabloid ini hanya saat piala dunia 2006 berlangsung. Setelah itu rasanya tidak pernah lagi.

Saya tidak menyangka dua belas tahun setelah terakhir kali membelinya, tabloid ini menerbitkan edisi terakhirnya. Meskipun sudah lama tak membacanya, tetap saja saya merasa kehilangan.

Terima kasih Tabloid Bola, sudah menjadi bagian dari masa remaja saya.

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...