Jumat, 01 Juli 2016

Selamat Ulang Tahun, Tetangga!

 
sumber gambar : www.digaleri.com
Baru beberapa menit berlalu dari pukul 20.00 tapi mata saya sudah mengantuk. Saya memutuskan untuk tidur saja meskipun tidur sebelum pukul sembilan malam bukanlah kebiasaan saya. 
 
Saya lalu berdiri untuk segera menutup pintu kamar dan jendela yang sejak tadi saya biarkan terbuka. Di dekat pintu saya melihat halaman kost gelap, lampu teras tidak satupun yang menyala. Suara tetangga-tetangga kamar yang biasanya masih bercanda di luar di waktu seperti ini juga tidak terdengar.

“Ke mana anak kost?” tanya saya dalam hati sambil mendorong pintu kamar.

Pintu kamar saya belum tertutup sempurna, tiba-tiba terdengar teriakan“Enci, ke sini ko!”

Saya tidak jadi menutup pintu. Saya lalu berdiri di depan pintu yang masih setengah terbuka. Saya mengarahkan pandangan ke sebelah kanan kamar. Saya yakin teriakan tadi berasal dari arah sana. Benar saja, terlihat seorang gadis berdiri di depan kamar yang letaknya dua kamar dari kamar saya. Meskipun agak gelap, saya bisa tahu jika gadis yang berdiri di sana adalah salah satu penghuni di kost-an saya

Kembali gadis itu memanggil nama yang sama. Saya lalu mengarahkan pandangan ke depan. Terlihat seorang gadis lain berjalan mendekat. Enci. Pemilik nama yang sedari tadi diteriakkan.

Bukannya makin mendekat, orang yang dipanggil ini malah menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar tawanya begitu keras. Ia terlihat membungkuk sambil memegang perutnya dan terus saja tertawa.

Saya tidak mengerti kenapa tawa itu demikian kerasnya hingga akhirnya saya melihat ada banyak lilin yang menyala di halaman kost. Setelah melihat keberadaan lilin di halaman, saya baru menyadari bahwa penghuni kost ini tidak ke mana-mana. Hanya karena lampu teras yang (mungkin) sengaja dimatikanlah hingga saya tidak menyadari keberadaan mereka.

Oh..surprise pale,” gumam saya.

Kemudian terdengar perintah salah satu anak kost “Musik, musik!”

Tidak lama kemudian terdengarlah lagu Selamat Ulang Tahun milik Jamrud, entah dari kamar yang mana. Lagu Jamrud seakan mengiringi si target surprise yang tidak bisa menghentikan tawanya.

Kembali saya mengarahkan pandangan ke lilin di halaman.  Entah dari mana datangnya ataukah saya yang tidak memerhatikan sejak tadi, di dekat lilin itu berdiri seorang laki-laki. Mungkin hanya butuh sedetik untuk saya menyadari bahwa laki-laki itu juga salah satu dari penghuni kost kami. Ia berdiri menghadap ke target sambil memegang kotak berisi kue, dan lilin-lilin menyala di antara mereka.

Orang yang diberi surprise ini terus saja tertawa keras. Sejenak ia berhenti lalu berkata “Kenapa I love you?”

Saya tidak mengerti pertanyaan ini. Saya kembali mengamati sekitar kost. Terlihat ada yang mengambil gambar, yang lain lagi bernyanyi bersama Jamrud.

Pertanyaan yang sama terulang lagi “Kenapa i love you?”tentu saja masih diikuti tawa yang keras.

Pandangan saya kemudian tertuju pada lilin-lilin yang masih menyala itu. Setelah saya perhatikan, ternyata lilin-lilin telah diatur membentuk kalimat ‘I LOVE YOU’. Setelah membacanya, saya hanya berani tersenyum. Biarlah tertawa hanya menjadi hak bagi orang di mana ‘I LOVE YOU’ ini ditujukan.
 
Saya lalu bertanya kepada salah satu anak kost, penghuni kamar yang letaknya tepat di sebelah kanan kamar saya. Ia juga menyaksikan kejadian ini dari depan kamarnya sambil tersenyum-senyum.

“Eh.. itu sambil tembak-tembakan, ya?”

“Begitu mi anak jaman sekarang, terpengaruh film-film,” jawabnya sambil tersenyum. 

Mendengar jawaban itu saya ikut tersenyum. Saya lalu masuk ke kamar tanpa harus mendapat jawaban pasti atas pertanyaan barusan. Saya bahkan tidak ikut mengucapkan selamat ulang tahun.

Dari luar masih terdengar lagu Jamrud. Di dalam kamar saya menebak-nebak apakah yang di luar itu akhirnya pacaran atau tidak. Ah, mengantukku hilang!

Tidur sebelum pukul sembilan malam memang bukan kebiasaan saya.

Rabu, 25 Mei 2016

Bertemu Pemangku Adat Segeri

Senin, 16 Mei 2016, beberapa pendamping Kelas Menulis Kepo dan dua orang peserta kelas (termasuk saya) diberi kesempatan untuk menemui salah seorang pemangku adat di Segeri, Pangkep, Sulawesi Selatan. Seorang anggota komunitas Pangkep Initiative berbaik hati mengantar kami ke rumah Sang Pemangku Adat.


Di rumah salah seorang Pemangku Adat Segeri, Pangkep.



Salah satu pemangku adat di Segeri, merupakan keturunan Raja Segeri : Andi Ali Baso Puang Bombong.


Bapak Andi Ali Baso Puang Bombong bersama Bapak Arifin Mude (kiri), beliau adalah sekretaris di lembaga adat Segeri, Pangkep.

Bapak Andi Ali Baso Puang Bombong, menjamu kami sambil bercerita.

Rumah Bapak Andi Ali Baso Puang Bombong.

Minggu, 22 Mei 2016

(Tidak) Ada Apa(-apa) Dengan Cinta



Foto : google
Pukul 16.30 dan mata saya rupanya kalah oleh kantuk. Saya berpikir tidur di kasur pastilah lebih nyaman daripada tidur di kursi. Tidur di kursi kantor.  Rabu sore, 4 Mei 2016 saya memutuskan pulang lebih awal  meskipun jam kantor berakhir setengah jam lagi.

Saya pun pulang, tapi anehnya rasa kantuk yang tadinya begitu kuat hilang begitu saja beberapa menit setelah saya naik angkot. Rasa kantuk yang hilang juga menghilangkan keinginan bertemu kasur secepatnya. Saya jadi malas pulang.

Malas pulang tapi tidak mungkin juga kembali ke kantor, apa yang harus saya lakukan? Mampir nonton di Makassar Town Square (M-Tos) jadi jawabannya. Nonton Ada Apa Dengan Cinta 2.

Turunlah saya di M-Tos dan langsung menuju  bioskop. Semangat saya surut melihat antrian pembelian tiket yang masih saja panjang. “Padahal sudah seminggu”, kata saya dalam hati. Meskipun sempat surut semangat, saya tetap saja ikut menambah antrian panjang itu.

Saat sedang antri saya menyadari bahwa hari itu yang diputar hanya dua film, AADC 2 dan Civil War. Dari keempat studio, AADC 2 menguasai 3 studio. 

“AADC 2 masih lama kayaknya, Civil War mo deh,” pikir saya. Saya mengganti target film yang akan saya nonton hari itu. Plin-plan.

Setelah beberapa menit, tersisa dua orang lagi di depan saya. Dari percakapan mereka sebelumnya saya tahu mereka juga akan menonton Civil War. Sayangnya Civil War menyisakan kursi paling depan. Dua orang di depan saya itu membatalkan niatnya.

Tibalah giliran saya berhadapan dengan mbak-mbak cantik yang mengurusi tiket. Demi menghindari ‘leher pegal karena terlalu lama mendongak’ saya juga membatalkan niat menonton Civil War. Kembali ke niat semula : AADC 2. Rupanya hari itu saya memang berjodoh dengan Nicholas Saputra. Ya begitulah jodoh, meskipun sebelumnya kadang ke mana-mana  dulu atau hanya seperti saya barusan yang hampir ke mana (Civil War), pada akhirnya jodoh memang tidak ke mana-mana. 

Selesai dengan urusan tiket, saya bergegas masuk studio. Pukul 17:40 pertunjukan dimulai.

Menit-menit awal film, saya hanya bisa mengagumi  Adinia Wirasti yang keren beserta tiga ibu-ibu yang masih atau malah makin cantik saja. Titi Kamal, Sissy Priscilia, dan tentu saja Dian Sastro. Saya jadi teringat beberapa tahun lalu. Saat itu saya duduk keheranan beberapa jam di foodcourt salah satu mall di kota ini hanya untuk menemani teman saya (seorang lelaki) yang mengamati sambil mengagumi ibu-ibu muda. Menurutnya  wanita yang punya satu-dua anak balita lebih menarik daripada gadis. Rasa heran saya beberapa tahun lalu dijawab oleh ketiga anggota geng Cinta ini.

Belum juga kekaguman saya kepada  Cinta dkk selesai, muncullah manusia lain lagi yang patut saya kagumi. Rangga. Tapi pesona Rangga sejenak saya lupakan sehabis mendengar suaranya membacakan puisi ‘Tidak Ada New York Hari Ini’. Saya jadi berandai-andai bagaimana jika Rangga juga membaca puisi M. Aan Mansyur yang lain? Saya berhenti berandai-andai lalu melanjutkan kekaguman saya lagi.

Tidak hanya tokoh  utama dari film ini yang membuat saya kagum. Penampilan  Marzuki Muhammad di adegan Cinta dkk lagi dugem di Yogyakarta membuat saya lebih kagum lagi. Rasanya mau berdiri lalu tepuk tangan ketika mendengar rapper Jawa itu menyanyikan ‘Ora Minggir Tabrak’. Syukurlah saya tidak jadi bertepuk tangan, selain karena malu saya rasa tangan saya lebih berguna untuk hal lain, menghitung umur Rangga saat masuk SD misalnya.

Di salah satu adegan pertemuan Cinta dengan Rangga, Rangga menceritakan alasan mereka berpisah pada tahu 2006. Kata Rangga “Waktu itu umur saya 23 ....... ” dilanjutkan dengan penjelasan lainnya. Artinya Rangga lahir pada tahun 1983. 

Saya lalu mengingat menit awal film yang menunjukkan nisan Alya dengan tahun lahir 1986. Cinta yang kita tahu seangkatan dengan Alya, umurnya tidak jauh-jauh amatlah dari Alya, anggaplah mereka sama-sama lahir di tahun 1986, selisih tiga tahun dengan Rangga. Tahun lahir mereka berjarak tiga tahun tapi di sekolah dulu kelas Rangga hanya setingkat di atas Cinta menandakan bahwa Rangga saat masuk SD berumur delapan tahun. Kalaupun Rangga masuk SD saat berumur enam tahun berarti Rangga pernah dua kali tinggal kelas.

Saya masih saja menebak-nebak umur Rangga saat masuk SD sampai akhirnya ada adegan film yang membuat saya geli. Adegan Cinta dan Rangga sedang ngobrol saat makan malam. Cinta bertanya tentang pacar Rangga dan jawabannya adalah Rangga pernah punya pacar tapi sudah putus dua tahun yang lalu.

“Orangnya kayak gimana?” Cinta bertanya lagi.

“Orangnya kayak kamu,” saya tidak begitu jelas mengingatnya tapi kira-kira begitulah jawaban Rangga yang disertai dengan senyum. Saya mulai geli.

Cinta kemudian melanjutkan pertanyaannya “Kenapa putus?”

“Ternyata orangnya bukan kamu, ”jawab Rangga.

Jawaban Rangga membuat saya benar-benar geli. Saya  tersenyum-senyum sendiri. 

Senyum geli saya berubah jadi monyong ketika mendengar lagu Melly Goeslaw yang mengiringi adegan naik tangga di Gereja Ayam. Saya sendiri tidak tahu judul lagunya. Tapi saat mendengar liriknya (yang sekarang saya juga sudah lupa) saya jadi menebak-nebak nasib lagu itu kalau saja tidak jadi pengisi AADC 2. Lagu itu sepertinya akan terasa lebih pas jika Melly Goeslaw memberikannya kepada  penyanyi macam Irwansyah, Raffi Ahmad, dan entah siapa saja yang ke(tidak)mampuan bernyanyinya serupa.

Syukurlah lagu itu tidak diputar dengan durasi yang lama jadi saya tidak perlu memonyongkan bibir lebih lama pula. Rangga dan Cinta yang masih terus saja menggemaskan membuat saya segera melupakan lagu yang bukan selera saya itu.

Meskipun Rangga dan Cinta sama-sama menggemaskan, beberapa menit sebelum film berakhir Rangga lagi-lagi membuat saya bingung. Saya jadi bingung dengan Rangga yang mengirim pesan ke Cinta, minta ketemuan. Sepertinya Rangga menunggu lebih dari sehari untuk mendapatkan balasan dari Cinta yang isinya penolakan. Penolakan Cinta membuat Rangga marah dan dengan kemarahan ia tetap saja mendatangi Cinta. 

Kalau Cinta mengiyakan ajakan Rangga, mereka akan bertemu. Yang terjadi : Cinta menolak ajakan Rangga, Rangga mendatangi tempat Cinta, memaksa bertemu dan akhirnya mereka memang bertemu. Lah ... kalau akhirnya Rangga tetap saja mendatangi (meskipun sudah ditolak) Cinta, lalu buat apa sebelumnya ia mengirim pesan yang isinya menggambarkan bahwa ia butuh izin Cinta untuk bertemu? Laki-laki memang membingungkan.

Meskipun laki-laki Rangga membingungkan, di akhir cerita sepertinya dialah tokoh yang paling bahagia. Bagaimana  tidak, jika mengingat keputusan sepihaknya meninggalkan Cinta sembilan tahun yang lalu harusnya Cinta lebih layak mendapat kebahagiaan dari laki-laki lain. Tapi ternyata, sembilan tahun berlalu, Rangga kembali dan mendapati sebenarnya tidak ada apa-apa dengan Cinta.

Film selesai, penonton bubar. Beberapa menit setelah keluar dari bioskop saya masih tersenyum-senyum sendiri mengingat tingkah dua tokohnya yang menggemaskan kemudian kembali menebak umur Rangga saat masuk SD.

Umur Rangga saat masuk SD masih saja mengganggu saya. Hampir sama mengganggunya dengan lirik lagu Melly Goeslaw saat adegan di Gereja Ayam. Kalau saja bukan karena dua hal ini, sepertinya saya tidak akan menemukan apa-apa di AADC 2.

Jumat, 29 April 2016

Pacar Di Pasar

Pasar Makale



Di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan,  jika melihat remaja–remaja berseragam sekolah berada di lingkungan pasar seperti gambar di atas, jangan pernah yakin seratus persen bahwa mereka adalah anak salah satu pedagang yang sedang membantu orang tuanya sehabis sekolah. Ada yang memang tujuannya untuk membeli sesuatu , ada juga yang sekadar jalan keliling pasar, dan bahkan ada pula yang kemudian  nongkrong di warung tuak kesayangan.

Di kota kecil seperti Makale (Toraja) yang belum memiliki mall dan minim tempat nongkrong, melihat remaja-remaja beredar di pasar tradisional adalah hal yang biasa. Yang jadi remaja belasan tahun lalu pun, tidak jarang menjadikan pasar sebagai tempat ketemu teman lama. Itu baru pasar di Makale, yang letaknya di ibukota kabupaten.

Lalu bagaimana dengan pasar yang hanya ‘kelas’ kecamatan? Jangan ditanya lagi. Selain melihat remaja berseragam sekolah yang  berbelanja atau sekadar keliling pasar, kita juga melihat mereka memadu kasih alias pacaran. Pacaran di pasar? Biasa itu. Lagipula pacaran di tempat yang ramai masih lebih bagus daripada pacaran di yang tempat sepi, kan?

Pasar kecamatan digelar hanya 6 hari sekali, tidak setiap hari. Jadi, jika kita ke pasar saat bukan jadwalnya, tidak perlu heran jika tempat ini seolah mati. Dulu, saat alat komunikasi hanya bisa dinikmati anak orang kaya dan jumlah sepeda motor di kampung masih bisa dihitung, jadwal kencan pasangan kekasih beda sekolah lebih bagus mengikut jadwal pasar saja.

Jadwal ketemuan yang  hanya tiap enam hari sekali menjadikan kencan lebih mesra. Tidak perlu salah tingkah ketika sedang berpegangan tangan lalu tiba-tiba tetangga atau bahkan tante lewat di depan kita. Asal bukan ibu sendiri, masih aman
.
Pasar Makale
Demikianlah pasar di kampung yang tidak menjalankan fungsinya hanya sebagai tempat belanja. Seperti yang saya ceritakan di atas, fungsi pasar bisa lebih dari itu. Oh iya, kegiatan tebar pesona juga bagus dilakukan di tempat ini.

Tentu berbeda dengan pasar-pasar tradisional yang ada di kota besar seperti Makassar. Jangankan jadi tempat kencan, sebagai tempat belanja pun pasar bukan lagi jadi pilihan satu-satunya. Supermarket banyak, minimarket apalagi. Pasar tradisional harus membagi fungsinya dengan kedua tempat itu.

Kebanyakan masyarakat kota memilih berbelanja supermarket/minimarket daripada berbelanja di pasar. Hanya untuk barang-barang tertentu mereka masih rela berbelanja di tempat yang katanya kalah bersih dan kalah nyaman dari supermarket ataupun minimarket.

“Masih  sering ko ke pasar?” tanya saya kepada seorang teman. Sri, 29 tahun, ibu 2 anak. 

“Iya, masih ji,” jawabnya. 

“Beli apa saja?” saya lanjut bertanya. 

“Ikan sama sayur. Lebih segar di sana. Sayur kayaknya lebih ‘ndak’ pestisida karena ada ji berulat. Lebih bisa ditawar juga,” jawabnya lagi

Kemudian saya beralih bertanya kepada orang yang berbeda. Neancy, 30 tahun, ibu satu anak. 

“Kenapa masih belanja di pasar tradisional?’ tanya saya.  

“Karena di pasar tradisional menurut saya lebih murah, barang-barang kebutuhan dapur seperti sayur, ikan, daging, lebih segar tanpa pengawet. Maklum, ibu-ibu doktrinnya kalau swalayan pasti pake pengawet biar tahan lama. Di pasar, bisa nawar dapat tambahan lagi.” begitu jawabnya.

Kedua orang yang saya tanya memiliki alasan yang hampir sama. Dari semua mereka sama-sama menyebutkan ‘lebih segar dan bisa ditawar’. 

‘Segar’ adalah hal yang ditawarkan oleh pasar tradisional dan teknik menawar yang baik cenderung kejam adalah keahlian yang sebaiknya dimiliki ketika berbelanja  di tempat ini. “Tawarlah sepertiga dari harga pertama yang penjualnya sebutkan!” saran seorang teman, Dewi.

Proses tawar-menawar bisa jadi ajang untuk mengasah kemampuan merayu dan mempertahankan pendapat. Jika sang penjual tidak makan rayuan, tinggalkan saja, pindah ke tempat lain.

Ditinggalkan begitu saja setelah rayuan tawar-menawar mungkin akan membuat sang penjual merasa di-PHP. Ternyata kecewa karena jadi korban PHP satu-dua gebetan belum seberapa. Pedagang di pasar bisa merasakannya setiap hari.

Tapi, bisa juga pedagang di pasar merasa biasa saja dengan perlakuan seperti ini. Seperti kata Daeng Ipul di Kelas Menulis Kepo, 8 April 2016  “Hal yang sering kita alami malah membuat kita kehilangan detailnya.”

Menanyakan alasan masih ke pasar tradisional kepada orang yang lebih muda mungkin akan mendapat jawaban yang berbeda. Alasan ‘lebih segar dan bisa ditawar’ mungkin tidak akan muncul. Begitu pikir saya.

“Masih biasa ke pasar” tanya saya  kepada Fitri, lajang 23 tahun.

 “Masih, Kak” jawabnya.

“Beli apa?” lanjut saya
.
“Ikan, sayur, ayam, buah,” jawabnya.

“Tidak kepikiran beli sayur, ikan di Giant atau Carrefour?” tanya saya sekali lagi.

“Mahal, Kak. Tidak segar juga. Kalau ayam, tidak pernah ka beli yang sudah mati, selalunya yang hidup baru suruh penjualnya potong,” jawabnya lagi.

Lagi-lagi saya mendapati alasan ‘segar’. Rupanya umur yang lebih muda dan status lajang bukan alasan  untuk tidak memiliki cara berpikir yang hampir sama dengan ibu-ibu.

Memang lebih mudah menemukan sayur dan ikan-ikan segar di pasar. Wajar saja jika ‘segar’ masih jadi alasan orang-orang memilih berbelanja di pasar tradisional selain karena alasan murah. Lalu bagaimana jika tidak ada lagi sayur dan ikan segar, karena tanah tidak lagi jadi lahan pertanian dan nelayan tidak lagi melaut? Akankah pasar tradisional bernasib sama dengan hal-hal lain yang lekat dengan kata tradisional? Kalah telak oleh modernitas.

Kamis, 21 April 2016

Selamat Hari Kartini!






Dibesarkan oleh ibu seperti yang membuat status di atas tentu saja adalah keberuntungan. Tapi bukan berarti anak yang dibesarkan oleh ibu dengan status sebagai pekerja kantoran (meskipun kasihan) adalah anak yang tidak beruntung.

Saya dibesarkan oleh ibu yang bekerja sebagai PNS. Status sebagai PNS membuatnya tidak di rumah pada siang hari. Saya tidak pernah merasa terlantar apalagi sampai mengasihani diri sendiri karena hal itu. ‘Tidak ada ibu di rumah’ berarti tidak ada yang mengomel ketika saya tidak mengganti seragam sekolah lebih dulu sebelum bermain di rumah tetangga. Menyenangkan sekali.

Ibu saya bekerja sebagai PNS sebelum menikah, tapi setelah memiliki dua anak ia sempat berniat mengundurkan diri lalu fokus mengurus anak di rumah. Syukurlah niatnya tidak pernah terlaksana sebelum  akhirnya  ia menjadi orang tua tunggal, hanya beberapa bulan setelah memiliki niat itu.

Tak lagi punya pekerjaan saat menjadi janda dengan anak-anak yang masih balita, tentu akan membuat hidup ibu saya lebih berat dari segi ekonomi. Apalagi ibu saya tidak terlahir dari keluarga bangsawan yang bisa mewarisi banyak kebun, sawah, bukit bahkan hutan, yang jika tidak sanggup menggarapnya warisan itu bisa saja dijual. ‘Berhenti sebagai PNS saat Bapak saya masih hidup’ hampir saja jadi keputusan ibu yang paling ia sesali.

Dibesarkan oleh ibu yang berstatus sebagai pegawai tidak pernah membuat saya merasa tidak terurus. Ibu jelas mengurus kami anak-anaknya. Bahkan ketika ibu saya tidak pernah mempermasalahkan berapa pun nilai anak-anaknya di sekolah, saya tetap merasa ia tidak sedang mengabaikan kami. Ibu saya malah heran, saat saya kelas 2 SMA buku rapor saya sembunyikan berbulan-bulan karena nilai Fisika saya 5. Ia tidak marah. Berganti saya yang kemudian heran.

Ibu saya juga bukan tipe ibu-ibu yang suka mendampingi anak-anaknya saat mengerjakan PR. Memang jawaban PR bisa ditemukan di buku paket masing-masing pelajaran, tapi tidak begitu dengan Matematika. Sejak pelajaran Matematika tidak lagi sebatas penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan puluhan, ibu saya memang mengingatkan “Jangan pernah tanya tentang matematika!”. Jadilah saya anak yang jarang mengerjakan PR di bawah pengawasan ibu.

Satu-satunya momen mengerjakan PR bersama ibu yang saya ingat adalah ketika PR Bahasa Indonesia mengharuskan saya mencari arti kata (yang katanya sendiri sudah saya lupa, yang pasti kata yang sudah disertai awalan) dan sinonimnya. Saya mengandalkan kamus waktu itu. Tapi kata yang saya cari tidak juga saya temukan karena saya mencari kata itu berdasarkan huruf pertama dari kata yang sudah dengan awalan itu. Ibu lalu memberitahu bahwa mencari kata-kata di kamus harus berdasarkan kata dasarnya. Pesan ibu saya ini, saya pegang teguh sampai aplikasi kamus di ponsel muncul.

Jangankan mendampingi saat mengerjakan PR, ibu saya bahkan jarang sekali memeriksa buku catatan saya di sekolah. Suatu kali, saat saya sudah duduk di kelas 4 SD, saat guru sudah memberi catatan dengan cara mendikte, ibu mendapati catatan saya berisi kata-kata yang disingkat. Ibu protes dengan dengan banyaknya singkatan di  catatan saya, sampai saya membuat kesimpulan bahwa di matanya kata yang bisa disingkat hanyalah ‘yang’. Ibu lalu mengingatkan agar tidak terbiasa dengan hal itu. Ini adalah salah satu nasehat Ibu yg tidak pernah saya turuti, sampai skrg. Kalau tidak percaya, coba baca baik-baik satu kalimat sebelum kalimat ini!

Saya rasa sekalipun Ibu saya adalah ibu rumah tangga biasa, tetap saja momen-momen mengerjakan PR dan membahas pelajaran adalah hal yang akan jarang saya alami, dan saya tidak pernah kecewa karena hal itu.

Berbeda dengan Ibu saya yang bekerja karena semata-mata alasan ekonomi, seorang teman saya punya alasan yang lebih lagi. Menikah dengan pria dengan kondisi ekonomi mapan disertai latar belakang keluarga yang berada malah membuat teman saya ini lebih semangat sebagai pekerja kantoran. 

Pernah ia bercerita, mengeluhkan anak laki-lakinya yang begitu manja karena lebih sering diasuh kakek dan nenek. “Biar dibilangi jelek bajunya, marah mi. Maunya dipuji terus. Kalau sekolah mi nanti bakal susah punya teman. Begitu mi kalau anak-anak lebih banyak sama neneknya.”

“Berhenti mi ko kerja!”, kata saya. “Ih, jangan. Ko taumi bukan ka anak orang kaya, trus menikah dengan anak orang kaya, apalagi yang bisa bikin tegak kepalaku di depan keluarganya kalau tidak ada kerja ku? Tidak pernah ji memang saya dengar mereka remehkan keluargaku, tapi bakal jadi tidak pede ka kalau tidak ada penghasilanku”, lanjutnya. Saya tidak lanjut bertanya lagi, saya memakluminya keresahannya.

Ibu saya yang hidup sebagai orang tua tunggal tentu memiliki keresahan berbeda dengan teman yang saya ceritakan di atas, jika  saja mereka tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantoran. Perempuan yang lain pun mungkin punya keresahan yang berbeda lagi. Keresahan adalah hal yang biasa. Bukankah Kartini juga dulunya memiliki keresahan? Maka resah lalu menulislah! Seperti Kartini. Selamat Hari Kartini!

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...