Jumat, 29 April 2016

Pacar Di Pasar

Pasar Makale



Di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan,  jika melihat remaja–remaja berseragam sekolah berada di lingkungan pasar seperti gambar di atas, jangan pernah yakin seratus persen bahwa mereka adalah anak salah satu pedagang yang sedang membantu orang tuanya sehabis sekolah. Ada yang memang tujuannya untuk membeli sesuatu , ada juga yang sekadar jalan keliling pasar, dan bahkan ada pula yang kemudian  nongkrong di warung tuak kesayangan.

Di kota kecil seperti Makale (Toraja) yang belum memiliki mall dan minim tempat nongkrong, melihat remaja-remaja beredar di pasar tradisional adalah hal yang biasa. Yang jadi remaja belasan tahun lalu pun, tidak jarang menjadikan pasar sebagai tempat ketemu teman lama. Itu baru pasar di Makale, yang letaknya di ibukota kabupaten.

Lalu bagaimana dengan pasar yang hanya ‘kelas’ kecamatan? Jangan ditanya lagi. Selain melihat remaja berseragam sekolah yang  berbelanja atau sekadar keliling pasar, kita juga melihat mereka memadu kasih alias pacaran. Pacaran di pasar? Biasa itu. Lagipula pacaran di tempat yang ramai masih lebih bagus daripada pacaran di yang tempat sepi, kan?

Pasar kecamatan digelar hanya 6 hari sekali, tidak setiap hari. Jadi, jika kita ke pasar saat bukan jadwalnya, tidak perlu heran jika tempat ini seolah mati. Dulu, saat alat komunikasi hanya bisa dinikmati anak orang kaya dan jumlah sepeda motor di kampung masih bisa dihitung, jadwal kencan pasangan kekasih beda sekolah lebih bagus mengikut jadwal pasar saja.

Jadwal ketemuan yang  hanya tiap enam hari sekali menjadikan kencan lebih mesra. Tidak perlu salah tingkah ketika sedang berpegangan tangan lalu tiba-tiba tetangga atau bahkan tante lewat di depan kita. Asal bukan ibu sendiri, masih aman
.
Pasar Makale
Demikianlah pasar di kampung yang tidak menjalankan fungsinya hanya sebagai tempat belanja. Seperti yang saya ceritakan di atas, fungsi pasar bisa lebih dari itu. Oh iya, kegiatan tebar pesona juga bagus dilakukan di tempat ini.

Tentu berbeda dengan pasar-pasar tradisional yang ada di kota besar seperti Makassar. Jangankan jadi tempat kencan, sebagai tempat belanja pun pasar bukan lagi jadi pilihan satu-satunya. Supermarket banyak, minimarket apalagi. Pasar tradisional harus membagi fungsinya dengan kedua tempat itu.

Kebanyakan masyarakat kota memilih berbelanja supermarket/minimarket daripada berbelanja di pasar. Hanya untuk barang-barang tertentu mereka masih rela berbelanja di tempat yang katanya kalah bersih dan kalah nyaman dari supermarket ataupun minimarket.

“Masih  sering ko ke pasar?” tanya saya kepada seorang teman. Sri, 29 tahun, ibu 2 anak. 

“Iya, masih ji,” jawabnya. 

“Beli apa saja?” saya lanjut bertanya. 

“Ikan sama sayur. Lebih segar di sana. Sayur kayaknya lebih ‘ndak’ pestisida karena ada ji berulat. Lebih bisa ditawar juga,” jawabnya lagi

Kemudian saya beralih bertanya kepada orang yang berbeda. Neancy, 30 tahun, ibu satu anak. 

“Kenapa masih belanja di pasar tradisional?’ tanya saya.  

“Karena di pasar tradisional menurut saya lebih murah, barang-barang kebutuhan dapur seperti sayur, ikan, daging, lebih segar tanpa pengawet. Maklum, ibu-ibu doktrinnya kalau swalayan pasti pake pengawet biar tahan lama. Di pasar, bisa nawar dapat tambahan lagi.” begitu jawabnya.

Kedua orang yang saya tanya memiliki alasan yang hampir sama. Dari semua mereka sama-sama menyebutkan ‘lebih segar dan bisa ditawar’. 

‘Segar’ adalah hal yang ditawarkan oleh pasar tradisional dan teknik menawar yang baik cenderung kejam adalah keahlian yang sebaiknya dimiliki ketika berbelanja  di tempat ini. “Tawarlah sepertiga dari harga pertama yang penjualnya sebutkan!” saran seorang teman, Dewi.

Proses tawar-menawar bisa jadi ajang untuk mengasah kemampuan merayu dan mempertahankan pendapat. Jika sang penjual tidak makan rayuan, tinggalkan saja, pindah ke tempat lain.

Ditinggalkan begitu saja setelah rayuan tawar-menawar mungkin akan membuat sang penjual merasa di-PHP. Ternyata kecewa karena jadi korban PHP satu-dua gebetan belum seberapa. Pedagang di pasar bisa merasakannya setiap hari.

Tapi, bisa juga pedagang di pasar merasa biasa saja dengan perlakuan seperti ini. Seperti kata Daeng Ipul di Kelas Menulis Kepo, 8 April 2016  “Hal yang sering kita alami malah membuat kita kehilangan detailnya.”

Menanyakan alasan masih ke pasar tradisional kepada orang yang lebih muda mungkin akan mendapat jawaban yang berbeda. Alasan ‘lebih segar dan bisa ditawar’ mungkin tidak akan muncul. Begitu pikir saya.

“Masih biasa ke pasar” tanya saya  kepada Fitri, lajang 23 tahun.

 “Masih, Kak” jawabnya.

“Beli apa?” lanjut saya
.
“Ikan, sayur, ayam, buah,” jawabnya.

“Tidak kepikiran beli sayur, ikan di Giant atau Carrefour?” tanya saya sekali lagi.

“Mahal, Kak. Tidak segar juga. Kalau ayam, tidak pernah ka beli yang sudah mati, selalunya yang hidup baru suruh penjualnya potong,” jawabnya lagi.

Lagi-lagi saya mendapati alasan ‘segar’. Rupanya umur yang lebih muda dan status lajang bukan alasan  untuk tidak memiliki cara berpikir yang hampir sama dengan ibu-ibu.

Memang lebih mudah menemukan sayur dan ikan-ikan segar di pasar. Wajar saja jika ‘segar’ masih jadi alasan orang-orang memilih berbelanja di pasar tradisional selain karena alasan murah. Lalu bagaimana jika tidak ada lagi sayur dan ikan segar, karena tanah tidak lagi jadi lahan pertanian dan nelayan tidak lagi melaut? Akankah pasar tradisional bernasib sama dengan hal-hal lain yang lekat dengan kata tradisional? Kalah telak oleh modernitas.

Kamis, 21 April 2016

Selamat Hari Kartini!






Dibesarkan oleh ibu seperti yang membuat status di atas tentu saja adalah keberuntungan. Tapi bukan berarti anak yang dibesarkan oleh ibu dengan status sebagai pekerja kantoran (meskipun kasihan) adalah anak yang tidak beruntung.

Saya dibesarkan oleh ibu yang bekerja sebagai PNS. Status sebagai PNS membuatnya tidak di rumah pada siang hari. Saya tidak pernah merasa terlantar apalagi sampai mengasihani diri sendiri karena hal itu. ‘Tidak ada ibu di rumah’ berarti tidak ada yang mengomel ketika saya tidak mengganti seragam sekolah lebih dulu sebelum bermain di rumah tetangga. Menyenangkan sekali.

Ibu saya bekerja sebagai PNS sebelum menikah, tapi setelah memiliki dua anak ia sempat berniat mengundurkan diri lalu fokus mengurus anak di rumah. Syukurlah niatnya tidak pernah terlaksana sebelum  akhirnya  ia menjadi orang tua tunggal, hanya beberapa bulan setelah memiliki niat itu.

Tak lagi punya pekerjaan saat menjadi janda dengan anak-anak yang masih balita, tentu akan membuat hidup ibu saya lebih berat dari segi ekonomi. Apalagi ibu saya tidak terlahir dari keluarga bangsawan yang bisa mewarisi banyak kebun, sawah, bukit bahkan hutan, yang jika tidak sanggup menggarapnya warisan itu bisa saja dijual. ‘Berhenti sebagai PNS saat Bapak saya masih hidup’ hampir saja jadi keputusan ibu yang paling ia sesali.

Dibesarkan oleh ibu yang berstatus sebagai pegawai tidak pernah membuat saya merasa tidak terurus. Ibu jelas mengurus kami anak-anaknya. Bahkan ketika ibu saya tidak pernah mempermasalahkan berapa pun nilai anak-anaknya di sekolah, saya tetap merasa ia tidak sedang mengabaikan kami. Ibu saya malah heran, saat saya kelas 2 SMA buku rapor saya sembunyikan berbulan-bulan karena nilai Fisika saya 5. Ia tidak marah. Berganti saya yang kemudian heran.

Ibu saya juga bukan tipe ibu-ibu yang suka mendampingi anak-anaknya saat mengerjakan PR. Memang jawaban PR bisa ditemukan di buku paket masing-masing pelajaran, tapi tidak begitu dengan Matematika. Sejak pelajaran Matematika tidak lagi sebatas penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian bilangan puluhan, ibu saya memang mengingatkan “Jangan pernah tanya tentang matematika!”. Jadilah saya anak yang jarang mengerjakan PR di bawah pengawasan ibu.

Satu-satunya momen mengerjakan PR bersama ibu yang saya ingat adalah ketika PR Bahasa Indonesia mengharuskan saya mencari arti kata (yang katanya sendiri sudah saya lupa, yang pasti kata yang sudah disertai awalan) dan sinonimnya. Saya mengandalkan kamus waktu itu. Tapi kata yang saya cari tidak juga saya temukan karena saya mencari kata itu berdasarkan huruf pertama dari kata yang sudah dengan awalan itu. Ibu lalu memberitahu bahwa mencari kata-kata di kamus harus berdasarkan kata dasarnya. Pesan ibu saya ini, saya pegang teguh sampai aplikasi kamus di ponsel muncul.

Jangankan mendampingi saat mengerjakan PR, ibu saya bahkan jarang sekali memeriksa buku catatan saya di sekolah. Suatu kali, saat saya sudah duduk di kelas 4 SD, saat guru sudah memberi catatan dengan cara mendikte, ibu mendapati catatan saya berisi kata-kata yang disingkat. Ibu protes dengan dengan banyaknya singkatan di  catatan saya, sampai saya membuat kesimpulan bahwa di matanya kata yang bisa disingkat hanyalah ‘yang’. Ibu lalu mengingatkan agar tidak terbiasa dengan hal itu. Ini adalah salah satu nasehat Ibu yg tidak pernah saya turuti, sampai skrg. Kalau tidak percaya, coba baca baik-baik satu kalimat sebelum kalimat ini!

Saya rasa sekalipun Ibu saya adalah ibu rumah tangga biasa, tetap saja momen-momen mengerjakan PR dan membahas pelajaran adalah hal yang akan jarang saya alami, dan saya tidak pernah kecewa karena hal itu.

Berbeda dengan Ibu saya yang bekerja karena semata-mata alasan ekonomi, seorang teman saya punya alasan yang lebih lagi. Menikah dengan pria dengan kondisi ekonomi mapan disertai latar belakang keluarga yang berada malah membuat teman saya ini lebih semangat sebagai pekerja kantoran. 

Pernah ia bercerita, mengeluhkan anak laki-lakinya yang begitu manja karena lebih sering diasuh kakek dan nenek. “Biar dibilangi jelek bajunya, marah mi. Maunya dipuji terus. Kalau sekolah mi nanti bakal susah punya teman. Begitu mi kalau anak-anak lebih banyak sama neneknya.”

“Berhenti mi ko kerja!”, kata saya. “Ih, jangan. Ko taumi bukan ka anak orang kaya, trus menikah dengan anak orang kaya, apalagi yang bisa bikin tegak kepalaku di depan keluarganya kalau tidak ada kerja ku? Tidak pernah ji memang saya dengar mereka remehkan keluargaku, tapi bakal jadi tidak pede ka kalau tidak ada penghasilanku”, lanjutnya. Saya tidak lanjut bertanya lagi, saya memakluminya keresahannya.

Ibu saya yang hidup sebagai orang tua tunggal tentu memiliki keresahan berbeda dengan teman yang saya ceritakan di atas, jika  saja mereka tidak lagi bekerja sebagai pegawai kantoran. Perempuan yang lain pun mungkin punya keresahan yang berbeda lagi. Keresahan adalah hal yang biasa. Bukankah Kartini juga dulunya memiliki keresahan? Maka resah lalu menulislah! Seperti Kartini. Selamat Hari Kartini!

Rabu, 13 April 2016

Asap Rokok Bau Sate, Kenapa Tidak?

Seorang pemuda duduk di sudut belakang angkot merokok lalu menghembuskan asapnya ke wajah seorang mahasiswi berseragam putih biru yang duduk di depannya. Pemuda itu melakukannya dengan senyum, sambil menatap lekat wajah yang memang cantik itu. Si mahasiswi diam saja, raut mukanya cemberut. Ia melirik dengan sudut matanya dan pipinya mengembang. Sepertinya ia menahan kemarahan tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menutup hidung sambil mengarahkan pandangan bukan  ke lelaki yang sedang menggodanya dengan asap rokok itu.

Pemandangan seperti di atas baru pertama kali saya lihat. Jika hanya ‘merokok di angkot pada saat penumpang lebih dari 4 orang’ tanpa adegan tambahan menghembuskan asapnya ke penumpang lain, saya sudah terbiasa. Pengguna angkot yang lain pun, saya rasa sering juga melihat kejadian seperti ini. Laki-laki, duduk di belakang, penumpang lebih dari 4 orang, tapi dengan santainya merokok tanpa peduli dengan penumpang lain yang sudah tutup hidung. Masih mau protes kalau ada yang bilang laki-laki tidak peka?

Saya bukan  manusia anti rokok, saya mengiyakan pendapat populer yang mengatakan bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, tapi saya juga mengiyakan ketika ada yang berkata seperti ini “Saya merokok sejak SMA, usia 16-an, berarti sekarang sudah 20 tahun, dan alhamdulillah masih sehat. Saya juga banyak kenal dokter dan tenaga medis yang perokok berat dan mereka baik-baik saja. Penyakit-penyakit yang banyak dituduhkan muncul karena rokok saya rasa tidak terlalu tepat. Bukankah polusi udara dari pabrik dan kendaraan jauh lebih banyak dan berbahaya dibanding asap rokok?”. Tidak percaya? Coba kenalan dengan @lelakibugis! 

Karena bukan anti rokok, dan mengiyakan  kedua pendapat di atas, saya jadi merasa biasa saja ketika harus berbagi oksigen  dengan orang yang sedang merokok, tapi tidak ketika di ruangan sekecil dan sesempit angkot. Berada di angkot yang sama dengan orang yang sedang merokok sunggguh tidak nyaman. Menghirup asap rokok di atas angkot sangat ampuh mengundang mual. Mual campur jengkel lebih tepatnya. Dan saya tidak sendiri. 

“Bukan lagi keterlaluan, tapi egois dan tidak peka sekali, tentu sangat mengganggu, apalagi di pete-pete yang penumpangnya sudah padat, anak kecil/balita dipangku kiri-kanan, sirkulasi udara yang kurang baik, dan ditambah cuaca panas di siang hari, dimana mi perasaan ta sama  hati nurani ta kasian?” keluh Sarwendah, seorang teman atas perilaku merokok di atas angkot ini. 

Masih banyak orang lain dengan keluhan serupa. Ibu-ibu jangan ditanya lagi. Ada yang tanpa sadar mengumpat ketika ditanya pendapatnya tentang orang yang merokok di angkot . Bahkan ketika mendapati seseorang merokok di atas angkot yang sama,  terkadang ada ibu-ibu yang lebih berani. Mereka tidak segan menyuruh si perokok mematikan rokoknya. Tidak pernah sekalipun saya melihat orang yang merokok di angkot ini, berani menolak perintah ibu-ibu. Pernah seorang teman saya yang perokok bercerita kalau ia tidak pernah merokok di angkot, bukan karena peduli dengan kenyamanan  penumpang lain, tapi ia justru takut diomeli ibu-ibu cerewet.

Masalah ketidaknyamanan di angkot karena asap rokok mungkin akan hilang jika selalu saja ada ibu-ibu yang berani menyuruh orang mematikan rokoknya. Sayangnya tidak semua ibu-ibu berani. Banyak juga yang memilih diam, lalu hanya bisa mengumpat dalam hati. 

Menurut saya, harus ada pihak lain di luar ibu-ibu pemberani yang turun tangan. Perusahaan rokok mungkin bisa ikut bertanggung jawab. Mengingat ketidaknyamanan ini bersumber dari asap rokok, mungkin sebaiknya perusahaan rokok mulai memikirkan cara agar rokok yang mereka produksi menghasilkan asap yang sedikit lebih layak hirup dan tentu saja tidak bikin mual.

Memproduksi rokok dengan aroma asap yang lebih bersahabat sama pentingnya dengan program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan selama ini, yang sayangnya dinilai oleh kalangan tertentu tak lebih dari kedok promosi.

Asap rokok sebaiknya berbau  harum, tapi tidak juga bau yang sejenis dengan bau parfum. Kadang parfum pun bikin mual. Lalu bagaimana jika perusahaan rokok membuat rokok yang asapnya berbau sate. Ada yang mual karena mencium bau sate?

Kamis, 07 April 2016

Takdir

Kamis pagi, 7 April  2016. Saya bangun dari tidur, membuka jendela kamar lalu melihat ke halaman pondokan. Sepi.  Motor-motor sudah tidak ada, pertanda tetangga-tetangga kamar sudah berangkat ke tempat aktivitas masing-masing, dan pertanda yang kemudian adalah : saya bangun kesiangan. Segera saya mengecek ponsel, di layarnya terlihat angka 07 : 22. Saya tersenyum sambil berkata “kecuali penghasilannya  yang tidak kunjung membuat kaya-raya, ah...saya cinta pekerjaan ini”, dalam  hati tentu saja dengan mata yang masih mengantuk pula. Berhubung aturan jam masuk di kantor saya tidak terlalu ketat, saya diam berpikir sejenak “lanjut tidur atau mandi?”. Saya memutuskan : bikin kopi.  Butuh sesi bengong agak lama untuk menghabiskan kopi ini. Sekali lagi saya mengintip layar ponsel, 08:28. Sadar saya bengong sampai sejam, saya jadi menyesal kenapa tadi  tidak melanjutkan tidur saja ketimbang minum kopi untuk mengurangi kantuk? Saya lalu mandi.

Saya tidak lagi memperhatikan jam saat keluar kamar, tapi  biasanya butuh waktu 40 menit untuk saya mandi dan (sebut saja) berdandan sebelum berangkat ke kantor. Kali ini saya tidak langsung menuju kantor, saya mampir dulu ke rumah bos untuk curhat konsultasi mengenai pekerjaan saya yang tak kelar-kelar. Konsultasi selesai, sayapun berangkat ke kantor,  naik pete-pete.

Tidak sampai lima menit, pete-pete yang saya tumpangi dari Pintu 2, ketika sampai di Pintu 1 UNHAS pete-pete ini dihadang oleh supir pete-pete yang lain, yang katanya sedang berdemo. Supir pete-pete saya bersikeras ingin melanjutkan perjalanan, tapi para “pendemo” ini lebih keras lagi. Mereka mengerumuni pete-pete lalu menghantamnya dengan tangan (untung bukan balok). Pak supir terpaksa mengalah dan meminta kami turun. Penumpang tidak bisa apa-apa selain turun. Rasanya dongkol sekali. Ah.., begini rupanya rasa sakit ketika dipaksa  turun di tengah jalan oleh orang yang kendaraannya kamu tumpangi. Ternyata tidak harus punya pacar(lalu bertengkar) untuk tahu bagaimana rasanya ketika dipaksa turun di tengah jalan, bepergianlah(dengan pete-pete) bertepatan dengan jadwal supir pete-pete berdemo !

Meskipun dongkol saya jadi tersenyum mendengar sedikit kalimat orator demo yang bunyinya kurang lebih begini “... walikota yang akan menghapus pete-pete dari Makassar”. Sudahlah, mereka sedang memperjuangkan nasib, berhentilah dongkol ! Saya bertanya dalam hati,  “lanjut ke kantor atau kembali ke pondokan?”. Saya pilih kembali, pekerjaan bisa saya lanjut di kamar dan lagi, komunikasi dengan klien toh hanya lewat telepon. Begitu pikir saya. Akhirnya kembalilah saya.
Pukul 10.05, saya tiba di pondokan.  Ketika hendak melanjutkan pekerjaan, saya jadi ingat kalau saya harus menelepon klien untuk kelengkapaan data, sesuai perintah bos tadi. Lalu saya jadi ingat juga kalau saya kehabisan pulsa dan belum sempat mengisinya tadi. Penjual pulsa jauh dari pondokan dan  membeli lewat internet banking yang masih menguras pulsa ketika meminta mtoken jelas  bukan pilihan juga. Saya tidak punya pilihan. 

Sepertinya, hari ini saya ditakdirkan untuk tidur seharian. Demo supir pete-pete, penumpang diturunkan di tengah jalan, pulsa yang tidak cukup untuk menelepon sudah cukup jadi isyarat bagi takdir “tidur seharian” itu, karena konon katanya tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Tapi jika benar tidak ada “kebetulan” lalu apa maksudnya saya minum kopi tadi pagi? Jangan-jangan itu adalah pertanda bahwa komunikasi tidak hanya bisa melalui telepon, tapi bisa juga lewat whatsapp.


Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...