Sudah setahun terakhir saya
merasa sedang berada dalam masa miskin semiskin-miskinnya. Yaa.., meskipun
tahun-tahun sebelumnya juga sama miskinnya, tapi saya merasa setahun
terakhirlah yang paling terasa. Mungkin karena setahun terakhir inilah saya
baru menyadari kalau saya benar-benar miskin, tahun-tahun sebelumnya saya hanya
mengabaikan fakta kalau saya ini miskin. Semua yang terjadi juga makin
menguatkan perasaan miskin itu. Liat
yang bagus-bagus dikit, pasti mentoknya selalu di harga...ciyaan. Pengen
ini, pengen itu, tapi mesti tahan. Karena apa?? Yaaa...karena duit. Masalahnya
selalu soal duit. Miskin sekali saya.
Tidak berhenti di masalah “pengen
ini-itu”, bahkan Desember lalu ketika rencana pulang kampung mulai disusun,
saya meringis dengan perihnya mendengar tiket bis yang naik harga. Tapi tidak mungkin juga saya batal pulang
kampung karena alasan berhemat. Akhirnya,, pulanglah saya dengan perasaan
“diperas banget” karena mesti membayar 20-30ribu kenaikan harga tiket bis.
Untuk kembali ke Makassar pun, saya juga masih merasakan perasaan yang sama.
Tiket bis naik dengan kisaran harga segitu. Saya merasa diperas lagi.
Sekembalinya ke Makassar, tidak
ada yang berubah. Yang terjadi hanyalah hal-hal yang menguatkan kemiskinan saya
. Sepertinya, miskin itu berkelanjutan.
Lanjutnya ke hal yang lebih
kecil. Sandal jepit.
(bukan) kebetulan, sandal jepit
saya yang sebenarnya masih sangat layak pakai berubah menjadi sampah saat
anjing teman saya menjadikan talinya sebagai cemilan tengah malam. Ah...., saya yang miskin ini mesti ngeluarin
duit buat beli sandal jepit lagi. Baru memikirkannya saja saya sudah merasa makin
miskin. Miskin sejak dalam pikiran. Mungkin begitu.
Tibalah hari H.., hari beli
sandal jepit maksudnya. Niat awal belinya sandal jepit yang serupa dengan bekas
cemilan anjing itu. Tapi ketika sampai di outletnya, mata saya membelalak liat
harganya. 99ribu rupiah. Padahal dulu, harganya nyaris setengah dari harga yang
sekarang. Nyaris 2tahun lalu sih. Sebagai miskin teladan, saya tidak mau
lagi-lagi merasa diperas karena harus membayar kenaikan harga. Dan memang sejak
dulu, saya selalu saja heran dengan teman-teman saya yang mengeluarkan duit
ratusan ribu untuk benda yang namanya sandal jepit. 99ribu belum ratusan sih,
tapi buat saya yang kepalang miskin ini, 99ribu adalah harga yang mahal. Sangat mahal. Saya kuburlah dalam-dalam niat
memiliki sandal yang serupa. Pindahlah saya ke outlet sebelah. Di outlet
sebelah, meski elus dada, harganya masih
lumayan bersahabatlah dengan si miskin ini. Duh..., beli sandal jepit mesti gini amat ya perasaannya. Ah..., jadi miskin memang
berat. Miskin memang menyakitkan.
Kalaupun miskin itu sejak dalam pikiran, berat, menyakitkan, dan berkelanjutan, semoga saja miskin itu tidak menular. Bisa habis teman saya karena takut ketularan miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar