Pasar Makale |
Di Kabupaten Tana Toraja,
Sulawesi Selatan, jika melihat remaja–remaja berseragam sekolah berada di
lingkungan pasar seperti gambar di atas, jangan pernah yakin seratus persen
bahwa mereka adalah anak salah satu pedagang yang sedang membantu orang tuanya
sehabis sekolah. Ada yang memang tujuannya untuk membeli sesuatu , ada juga
yang sekadar jalan keliling pasar, dan bahkan ada pula yang kemudian nongkrong di warung tuak kesayangan.
Di kota kecil seperti Makale
(Toraja) yang belum memiliki mall dan minim tempat nongkrong, melihat
remaja-remaja beredar di pasar tradisional adalah hal yang biasa. Yang jadi
remaja belasan tahun lalu pun, tidak jarang menjadikan pasar sebagai tempat
ketemu teman lama. Itu baru pasar di Makale, yang letaknya di ibukota
kabupaten.
Lalu bagaimana dengan pasar yang
hanya ‘kelas’ kecamatan? Jangan ditanya lagi. Selain melihat remaja berseragam
sekolah yang berbelanja atau sekadar
keliling pasar, kita juga melihat mereka memadu kasih alias pacaran. Pacaran di
pasar? Biasa itu. Lagipula pacaran di tempat yang ramai masih lebih bagus
daripada pacaran di yang tempat sepi, kan?
Pasar kecamatan digelar hanya 6
hari sekali, tidak setiap hari. Jadi, jika kita ke pasar saat bukan jadwalnya,
tidak perlu heran jika tempat ini seolah mati. Dulu, saat alat komunikasi hanya
bisa dinikmati anak orang kaya dan jumlah sepeda motor di kampung masih bisa
dihitung, jadwal kencan pasangan kekasih beda sekolah lebih bagus mengikut
jadwal pasar saja.
Jadwal ketemuan yang hanya tiap enam hari sekali menjadikan kencan
lebih mesra. Tidak perlu salah tingkah ketika sedang berpegangan tangan lalu
tiba-tiba tetangga atau bahkan tante lewat di depan kita. Asal bukan ibu
sendiri, masih aman
.
Pasar Makale |
Demikianlah pasar di kampung yang
tidak menjalankan fungsinya hanya sebagai tempat belanja. Seperti yang saya
ceritakan di atas, fungsi pasar bisa lebih dari itu. Oh iya, kegiatan tebar
pesona juga bagus dilakukan di tempat ini.
Tentu berbeda dengan pasar-pasar
tradisional yang ada di kota besar seperti Makassar. Jangankan jadi tempat
kencan, sebagai tempat belanja pun pasar bukan lagi jadi pilihan satu-satunya. Supermarket
banyak, minimarket apalagi. Pasar tradisional harus membagi fungsinya dengan
kedua tempat itu.
Kebanyakan masyarakat kota
memilih berbelanja supermarket/minimarket daripada berbelanja di pasar. Hanya
untuk barang-barang tertentu mereka masih rela berbelanja di tempat yang katanya
kalah bersih dan kalah nyaman dari supermarket ataupun minimarket.
“Masih sering ko
ke pasar?” tanya saya kepada seorang teman. Sri, 29 tahun, ibu 2 anak.
“Iya, masih ji,” jawabnya.
“Beli apa saja?” saya lanjut
bertanya.
“Ikan sama sayur. Lebih segar di
sana. Sayur kayaknya lebih ‘ndak’ pestisida
karena ada ji berulat. Lebih bisa
ditawar juga,” jawabnya lagi
Kemudian saya beralih bertanya
kepada orang yang berbeda. Neancy, 30 tahun, ibu satu anak.
“Kenapa masih
belanja di pasar tradisional?’ tanya saya.
“Karena di pasar tradisional
menurut saya lebih murah, barang-barang kebutuhan dapur seperti sayur, ikan,
daging, lebih segar tanpa pengawet. Maklum, ibu-ibu doktrinnya kalau swalayan
pasti pake pengawet biar tahan lama. Di pasar, bisa nawar dapat tambahan lagi.”
begitu jawabnya.
Kedua orang yang saya tanya
memiliki alasan yang hampir sama. Dari semua mereka sama-sama menyebutkan
‘lebih segar dan bisa ditawar’.
‘Segar’ adalah hal yang
ditawarkan oleh pasar tradisional dan teknik menawar yang baik cenderung
kejam adalah keahlian yang sebaiknya dimiliki ketika berbelanja di tempat ini. “Tawarlah sepertiga dari harga
pertama yang penjualnya sebutkan!” saran seorang teman, Dewi.
Proses tawar-menawar bisa jadi
ajang untuk mengasah kemampuan merayu dan mempertahankan pendapat. Jika sang
penjual tidak makan rayuan, tinggalkan saja, pindah ke tempat lain.
Ditinggalkan begitu saja setelah
rayuan tawar-menawar mungkin akan membuat sang penjual merasa di-PHP. Ternyata
kecewa karena jadi korban PHP satu-dua gebetan belum seberapa. Pedagang di
pasar bisa merasakannya setiap hari.
Tapi, bisa juga pedagang di pasar
merasa biasa saja dengan perlakuan seperti ini. Seperti kata Daeng Ipul di
Kelas Menulis Kepo, 8 April 2016 “Hal
yang sering kita alami malah membuat kita kehilangan detailnya.”
Menanyakan alasan masih ke pasar
tradisional kepada orang yang lebih muda mungkin akan mendapat jawaban yang
berbeda. Alasan ‘lebih segar dan bisa ditawar’ mungkin tidak akan muncul. Begitu
pikir saya.
“Masih biasa ke pasar” tanya
saya kepada Fitri, lajang 23 tahun.
“Masih, Kak” jawabnya.
“Beli apa?” lanjut saya
.
“Ikan, sayur, ayam, buah,” jawabnya.
“Tidak kepikiran beli sayur, ikan
di Giant atau Carrefour?” tanya saya sekali lagi.
“Mahal, Kak. Tidak segar juga.
Kalau ayam, tidak pernah ka beli yang
sudah mati, selalunya yang hidup baru
suruh penjualnya potong,” jawabnya lagi.
Lagi-lagi saya mendapati alasan
‘segar’. Rupanya umur yang lebih muda dan status lajang bukan alasan untuk tidak memiliki cara berpikir yang
hampir sama dengan ibu-ibu.
Memang lebih mudah menemukan
sayur dan ikan-ikan segar di pasar. Wajar saja jika ‘segar’ masih jadi alasan
orang-orang memilih berbelanja di pasar tradisional selain karena alasan murah.
Lalu bagaimana jika tidak ada lagi sayur dan ikan segar, karena tanah tidak lagi
jadi lahan pertanian dan nelayan tidak lagi melaut? Akankah pasar tradisional
bernasib sama dengan hal-hal lain yang lekat dengan kata tradisional? Kalah
telak oleh modernitas.
1 komentar:
Salah satu alasan saya nggak suka ke pasar tradisional itu proses tawar menawarnya. Hehehe
Posting Komentar