Sabtu, 27 Oktober 2018

Terima Kasih BOLA


Meski tak lagi menonton liga sepakbola dan (apalagi) membeli tabloid olahraga, kabar ditutupnya tabloid BOLA tetap saja membuat saya kaget. Kaget sekaligus membuat saya menarik ingatan ke pertengahan tahun 2002 silam. Waktu itu, untuk pertama kalinya saya membeli tabloid BOLA.

Tabloid BOLA pertama saya adalah edisi yang terbit setelah kekalahan Italia dari Korea di piala dunia waktu itu. Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik dengan berita sepakbola, tapi kekalahan Italia kali itu membuat saya jadi tertarik dengan drama yang menyertai olahraga ini. Ketertarikan yang tiba-tiba inilah yang membuat saya tidak merasa cukup dengan berita olahraga yang tersaji di tv. Saya lalu mencari sumber informasi dari media cetak, tabloid BOLA.

Meskipun alasan saya membeli tabloid BOLA waktu itu adalah ‘Italia’ sekarang saya sudah lupa bagaimana BOLA membahas kekalahan itu. Yang saya ingat adalah ketertarikan saya kepada Italia tidak berhenti setelah membaca tabloid BOLA yang pertama kali saya beli itu.

Usai Piala Dunia 2002, saya memutuskan untuk menonton liga sepakbola negara yang habis dipecundangi Korea itu. Agar lebih terikat, saya membuat keputusan lagi untuk jadi pendukung salah satu klub Serie A. Karena saya paling suka wajah Filippo Inzaghi, maka pilihan saya jatuh kepada AC Milan. Saya jadi milanisti bahkan sebelum tahu prestasi klub ini. Benar, kecintaan saya awalnya hanya karena wajah Filippo Inzaghi. Maka ketika ada yang menyindir saya “cewek-cewek nonton bola karena wajah tampan pemainnya” saya tidak membantah. Toh cinta memang kadang karena memandang rupa, bukan?

Serie A musim 2002-2003 bergulir. Saya mulai belajar nonton bola, juga belajar jadi milanisti.
Tiap akhir pekan saya terbiasa menahan kantuk untuk menonton AC Milan. Kalau pun laga AC Milan tidak ditayangkan, saya kadang menonton laga lain hanya untuk menunggu info skor dari laga-laga Serie A yang sedang berlangsung hari itu. Saya jadi benar-tertarik dengan AC Milan.

Ketertarikan itulah yang membuat saya mengirit jajan demi membeli tabloid BOLA. Dari dua edisi tiap minggunya, saya lebih sering membeli edisi Jumat karena edisi itu menyajikan prediksi pertandingan-pertandingan liga di akhir pekan. Sesekali saya membeli edisi Selasa, hanya jika AC Milan akan menghadapi laga besar di Liga Champion.

Saya membeli tabloid ini di lapak koran milik kakak teman kelas saya, dan kalau kehabisan saya akan mencarinya di toko dekat pertigaan tempat saya menunggu angkot tiap pulang sekolah. Tidak jarang juga saya tidak kebagian. 

Kegemaran saya membaca tabloid BOLA ini berlanjut ke musim berikutnya, hingga saya lulus SMA, meninggalkan Toraja, lalu tinggal di rumah kerabat untuk kuliah di Makassar.

Awal menetap di Makassar, saya masih sempat beberapa kali membaca tabloid ini . Dapat tabloid BOLA lebih mudah karena dekat rumah tempat saya tinggal ada penjual koran. Sayangnya meski untuk mendapat tabloid ini saya tidak perlu takut kehabisan, tinggal di bukan rumah sendiri membuat saya tidak punya kuasa penuh atas remot tv.
.
Jika saya adalah penonton AC Milan dalam keadaan apapun dan lawan siapapun, orang rumah tidak demikian. Saya betah saja nonton AC Milan dalam keadaan perkasa ataupun dalam keadaan membosankan. Tidak peduli Milan lawan Juventus atau Atalanta, saya senang-senang saja

Lebih sering saya memilih tidur saja karena laga AC Milan katanya tidak menarik jika dibandingkan dengan laga di liga negara lain yang berlangsung bersamaan. Lama-kelamaan saya tidak lagi punya niat nonton bola.

Jarang nonton ini jugalah yang membuat minat saya membaca tabloid BOLA jadi menurun, bahkan hilang. Mungkin saya membeli tabloid ini hanya saat piala dunia 2006 berlangsung. Setelah itu rasanya tidak pernah lagi.

Saya tidak menyangka dua belas tahun setelah terakhir kali membelinya, tabloid ini menerbitkan edisi terakhirnya. Meskipun sudah lama tak membacanya, tetap saja saya merasa kehilangan.

Terima kasih Tabloid Bola, sudah menjadi bagian dari masa remaja saya.

Tidak ada komentar:

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...