Meski tak lagi menonton liga
sepakbola dan (apalagi) membeli tabloid olahraga, kabar ditutupnya tabloid BOLA
tetap saja membuat saya kaget. Kaget sekaligus membuat saya menarik ingatan ke
pertengahan tahun 2002 silam. Waktu itu, untuk pertama kalinya saya membeli tabloid BOLA.
Tabloid BOLA pertama saya adalah
edisi yang terbit setelah kekalahan Italia dari Korea di piala dunia waktu itu.
Sebelumnya, saya tidak begitu tertarik dengan berita sepakbola, tapi kekalahan
Italia kali itu membuat saya jadi tertarik dengan drama yang menyertai olahraga
ini. Ketertarikan yang tiba-tiba inilah yang membuat saya tidak merasa cukup
dengan berita olahraga yang tersaji di tv. Saya lalu mencari sumber informasi
dari media cetak, tabloid BOLA.
Meskipun alasan saya membeli tabloid
BOLA waktu itu adalah ‘Italia’ sekarang saya sudah lupa bagaimana BOLA membahas
kekalahan itu. Yang saya ingat adalah ketertarikan saya kepada Italia tidak
berhenti setelah membaca tabloid BOLA yang pertama kali saya beli itu.
Usai Piala Dunia 2002, saya memutuskan
untuk menonton liga sepakbola negara yang habis dipecundangi Korea itu. Agar
lebih terikat, saya membuat keputusan lagi untuk jadi pendukung salah satu klub
Serie A. Karena saya paling suka wajah Filippo Inzaghi, maka pilihan saya jatuh
kepada AC Milan. Saya jadi milanisti bahkan sebelum
tahu prestasi klub ini. Benar, kecintaan saya awalnya hanya karena wajah
Filippo Inzaghi. Maka ketika ada yang menyindir saya “cewek-cewek nonton bola
karena wajah tampan pemainnya” saya tidak membantah. Toh cinta memang kadang
karena memandang rupa, bukan?
Serie A musim 2002-2003 bergulir.
Saya mulai belajar nonton bola, juga belajar jadi milanisti.
Tiap akhir pekan saya terbiasa
menahan kantuk untuk menonton AC Milan. Kalau pun laga AC Milan tidak
ditayangkan, saya kadang menonton laga lain hanya untuk menunggu info skor dari
laga-laga Serie A yang sedang berlangsung hari itu. Saya jadi benar-tertarik
dengan AC Milan.
Ketertarikan itulah yang membuat
saya mengirit jajan demi membeli tabloid BOLA. Dari dua edisi tiap minggunya,
saya lebih sering membeli edisi Jumat karena edisi itu menyajikan prediksi
pertandingan-pertandingan liga di akhir pekan. Sesekali saya membeli edisi
Selasa, hanya jika AC Milan akan menghadapi laga besar di Liga Champion.
Saya membeli tabloid ini di lapak
koran milik kakak teman kelas saya, dan kalau kehabisan saya akan mencarinya di
toko dekat pertigaan tempat saya menunggu angkot tiap pulang sekolah. Tidak jarang
juga saya tidak kebagian.
Kegemaran saya membaca tabloid
BOLA ini berlanjut ke musim berikutnya, hingga saya lulus SMA, meninggalkan
Toraja, lalu tinggal di rumah kerabat untuk kuliah di Makassar.
Awal menetap di Makassar, saya
masih sempat beberapa kali membaca tabloid ini . Dapat tabloid BOLA lebih mudah
karena dekat rumah tempat saya tinggal ada penjual koran. Sayangnya meski untuk
mendapat tabloid ini saya tidak perlu takut kehabisan, tinggal di bukan rumah
sendiri membuat saya tidak punya kuasa penuh atas remot tv.
.
Jika saya adalah penonton AC
Milan dalam keadaan apapun dan lawan siapapun, orang rumah tidak demikian. Saya
betah saja nonton AC Milan dalam keadaan perkasa ataupun dalam keadaan
membosankan. Tidak peduli Milan lawan Juventus atau Atalanta, saya
senang-senang saja
Lebih sering saya memilih tidur saja
karena laga AC Milan katanya tidak menarik jika dibandingkan dengan laga di
liga negara lain yang berlangsung bersamaan. Lama-kelamaan saya tidak lagi
punya niat nonton bola.
Jarang nonton ini jugalah yang
membuat minat saya membaca tabloid BOLA jadi menurun, bahkan hilang. Mungkin
saya membeli tabloid ini hanya saat piala dunia 2006 berlangsung. Setelah itu
rasanya tidak pernah lagi.
Saya tidak menyangka dua belas
tahun setelah terakhir kali membelinya, tabloid ini menerbitkan edisi
terakhirnya. Meskipun sudah lama tak membacanya, tetap saja saya merasa kehilangan.
Terima kasih Tabloid Bola, sudah
menjadi bagian dari masa remaja saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar