Kamis, 10 Januari 2013

Yang pasti...,saya punya kuping !!!



Belakangan ini, nasib sepertinya mengarahkan saya untuk menguping pembicaraan orang lain. Ya..,seperti tulisan sebelumnya, kali ini masih seputar pembicaraan orang lain yang sempat terekam kuping saya.

Kejadiannya beberapa jam yang lalu, waktu saya sedang menjalani perawatan gigi di sebuah klinik. Setelah sudah cukup bĂȘte karena harus antri berjam-jam, akhirnya tibalah giliran saya masuk ke dalam ruang praktek dokter gigi. Di ruangan itu ada 3 dental unit, 3 orang dokter gigi beserta asistennya masing-masing, 2 pasien (selain saya), dan seorang ibu yang sedang menunggu anaknya yang juga sedang menjalani perawatan gigi (ini dia tokoh sentral dalam cerita kali ini).

Awal memasuki ruangan praktek dokter, si ibu ini memang cukup menarik perhatian saya. Ukuran badannya berbanding lurus dengan suaranya. Kesan pertama hanya “kebesaran” itu yang saya tangkap, saya belum terpaksa memperhatikan dan merekam apa yang ibu ini bicarakan. Saya hanya duduk di dental unit, sambil menunggu dokter mendengar keluhan dan memeriksa gigi saya. Dokter pun menanyakan keluhan saya. Setelah mendengar keluhan saya yang amat tidak panjang(apalagi lebar), dokter tahulah apa yang harus ia lakukan. Ia menyentuh perkakas kedokteran giginya dan tentu saja menghidupkan bor atau apalah itu. Gigi saya dibor. Sebentar. Si ibu ngobrol dengan dokter yang sedang menangani gigi saya. Si ibu terus ngomong, dokter pun menimpali. Sempat kepikiran “untung yang di depan saya ini dokter gigi beneran, klo gak..,bisa-bisa gusi sayalah yang dibor klo sambil ngobrol begini”. Pembicaraan makin hangat rupanya. Gigi saya masih saja dibor, si Ibu masih ngomong. Sebentar. Mesin bor mati, saya lalu berkumur, dokter ngobrol lagi sama si Ibu. Mesin bor hidup, dokter tetap ngobrol dengan si Ibu. Mesin bor mati lagi, gigi saya gak diapa-apain. Entah beberapa kali seperti itu sampai akhirnya gigi saya benar-benar tuntas dibor dan siap untuk perawatan selanjutnya. Saya mulai tidak nyaman dengan keberadaan si Ibu.

Lanjut di sesi perawatan selanjutnya. Kali ini melibatkan asisten dokter. Perawatan gigi saya melalui suatu tahap yang dimana gigi saya harus berhadapan dengan mesin “light curing” (orang-orang sering menyebutnya sinar laser). Tapi karena lagi-lagi si Ibu tidak berhenti ngomong, perhatian dokter dan asistennya terbagi juga untuk si Ibu ini. Awalnya light curing benar-benar mengarah ke gigi saya, tapi karena perhatian asisten dokter yang bertugas memegang light curing ini tiba-tiba tertuju kepada si Ibu, alhasil bibir sayalah yang merasakan light curing. Hangat. Saya terima nasib.

Masih lanjut di sesi berikutnya. Saya diminta menunggu karena dokter yang menangani saya juga harus ikut menangani pasien di sebelah saya. Si Ibu masih saja bersuara. Momen menunggu kali inilah yang mengarahkan saya untuk mulai menyimak apa yang sebenarnya jadi pembicaraan hangat dalam ruangan praktek ini. Saya mendengar pembahasan tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, pembahasan mengenai karma, dan beberapa pembahasan “kesana-kemari” lainnya. Tibalah pembicaraan pada topic menguruskan badan. Ide pokok makin berkembang. Salah satu dokter yang jauh lebih muda, sepertinya tertarik dengan pembicaraan ini. dia mendekati narasumber. Dia memilih duduk berhadapan dengan si Ibu. Si Ibu bercerita tentang pengalamannya menguruskan badan. Sepertinya ia tidak bisa mencapai ukuran yang ia mau. Tulangnya besar katanya. Dokter yang lebih muda ini pun katanya ingin menguruskan badan lagi (padahal bodynya sudah ok loh..,tinggi semampai gitu deh). Si Ibu menyarankan “Jangan ! klo dokter masih kurus lagi..,gimana jadinya? Dokter tulangnya kecil”. Sebenarnya paragraph pengembang setelah ide pokok ini masih banyak, tapi saya lupa..,sampai akhirnya saya mendengar kalimat ini “Dokter itu kan kerja… otak sama fisik. Beda dengan tukang yang cuma fisik dan bla..bla..bla..”. Saya makin tertarik dengan pembicaraan ini. Sambil mikir tentunya. Emang tukang bisa kerja tanpa otak ? Apa iya bangunan bisa berdiri jika tukangnya bekerja tidak pakai otak ? Lha, bukannya manusia itu memutuskan kerja atau tidak berdasarkan perintah dari otak ? Saya tersenyum, tapi dalam hati.

Topic makin kesana-kemari, bahas radiasi handphone-lah, adik si Ibu-lah, dan masih banyak lagi. Tibalah kita pada tips memilih pasangan yang memperhitungkan bibit,bobot,bebet. Nasehat si Ibu kepada anak-anaknya(konon) “klo nyari cewek, liat ibunya karena ibu penentunya. Ibu yang membawa gen.” Dibenarkan oleh dokter yang lebih senior, katanya ayah hanya menurunkan 20% gen atau apalah istilahnya. Masih lanjut kata si Ibu “Gak peduli bapaknya pangkatnya apa, pokoknya liat ibunya. Ibu itu penentu bibit unggul, di kitab suci pun ada”. Yaaa…,,sampai di sini sesekali saya tersenyum. Si Ibu terus saja dengan “bibit unggulnya”, sampai ia curhat soal anaknya yang berhasil menemukan bibit unggul. Sesekali saya tersenyum, sampai akhirnya saya bingung memilih ekspresi karena kelanjutan pembahasan bibit unggul ini. “Pokoknya liat ibunya. Orang tua yang bisa nyekolahin anaknya kedokteran itu hebat lho. Dokter ini bibit unggul.” Kalimat ini membuka mata saya, menyadarkan di kategori “bibit” mana saya berada. Kita lanjut ke kalimat selanjutnya  “Laki-laki yang bisa dapat dokter itu beruntung.” Nah, lagi-lagi saya menemukan alasan kejombloan saya, mereka takut sial karena saya bukan dokter !!! hahahahaha
(Maaf, ada sesi curcol di sesi terakhir.)

Tidak ada komentar:

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...