Selasa, 22 September 2015

Cemas Yang Tidak Perlu

Beberapa hari belakangan ini salah satu teman fb saya yang berprofesi sebagai dosen, sepertinya sedang giat-giatnya menyoroti masalah penulisan yang tidak sesuai dengan ketentuan EYD (maklumlah...,beliau dosen). Saya juga pernah mengalami keresehan yang sama soal tulisan beberapa tahun lalu, tapi tidak seserius yang seperti yanga dipermasalahkan oleh teman fb saya ini. Keresahan saya waktu itu hanya seputar orang-orang yang suka sekali mengetik dengan huruf 4L4Y.

Membaca keresahan sang dosen ini, membuat saya juga merasakan keresahan beliau. Keresahan saya tidak lagi hanya seputar huruf 4L4Y, tapi lebih serius dan mendasar : Ejaan Yang Disempurnakan. Lebih meresahkan lagi kalau memikirkan bahwa tulisan ini tentu saja tidak luput juga dari masalah EYD tersebut, tapi abaikanlah yaaaaaw, kan ekeh bukan siapa-siapa! Toh kita tidak harus benar-benar 'tidak pernah salah' untuk mendapatkan 'izin membahas kesalahan orang lain', kan?
Lanjut..
Kita sering melihat di media sosial  berkeliaran orang-orang yang belum bisa membedakan penulisan 'di' sebagai kata depan dan 'di' yang berfungsi sebagai awalan? Belum lagi golongan yang tidak tahu persis perbedaan 'bawa' dengan 'bawah'. Itu baru 'di' dan 'bawa-bawah' dengan huruf 'h'-nya. Bagaimana dengan 'faham-paham' dan 'fikir-pikir'? Lebih banyak lagi. Atau kita lanjut dengan (sepertinya) masalah sejuta umat : makna kata 'acuh'. Saya rasa 'acuh' adalah kata yang paling sering mendapat perlakuan 'tidak acuh' dalam pemakaiannya. Tidak perlu saya jelaskan, om Wiki punya jawabannya.
Masalah tulis-menulis ini mungkin terlihat sepele, tapi yang menambah keresahan saya adalah : masalah ini sepertinya sudah jadi masalah banyak orang dari berbagai latar belakang umur dan pendidikan. Kalau yang tua sih mau bagaimana lagi, yang muda belia ini yang patut dicemaskan. Bukan tidak mungkin, beberapa dari mereka kelak akan menjadi guru. Kita yang sudah setua ini, mungkin tidak akan mendapatkan pengajaran dari mereka ini, tapi anak-anak kita kelaklah yang akan berhadapan dengan mereka. Apakah di masa depan, kita yakin mempercayakan pendidikan anak-anak kita kepada mereka yang belum tahu membedakan dua macam 'di'? Ah..., semoga saja mereka tidak bercita-cita jadi guru.
Tapi sepertinya, saya berlebihan. Yang saya cemaskan adalah kesalahan penulisan di media sosial. Bukannya di media sosial tidak wajib serius dan harus sebaku EYD? Hhmmmm..., saya mengkhawatirkan masa depan anak-anak saya yang bahkan bakal ayahnya saja belum ketemu. Kecemasan yang tidak perlu. 

Tidak ada komentar:

Teman Sebangku

Beberapa hari yang lalu, facebook mempertemukan saya   dengan teman itu pernah sebangku saat di kelas empat dan lima SD. Sejak lulus SD ...